Perincian
Syarah Hadits:
Hadits Jubair bin Muth’im r.a. dan lafazh konteks hadits
riwayat Abu Dawud dalam Sunan nya, adalah :
Dari Jubair bin Muhammad bin Jubair bin
Muth’im,dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata : “Seorang Arab badui datang
kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata, ‘Ya Rasulullah, orang-orang telah
kehabisan tenaga, keluarga telah kelaparan, harta benda telah musnah, dan
ternak-ternak telah binasa, mintalah hujan untuk kami. [Sesungguhnya kami
menjadikanmu sebagai perantara kepada Allah] dan menjadikan Allah sebagai
perantara kepadamu.’ Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Celaka kamu, apakah kamu tahu apa
yang kamu katakana ?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bertasbih dan terus bertasbih sehingga hal itu
terlihat pada wajah para sahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau).
Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu, sesungguhnya tidak boleh menjadikan
Allah sebagai perantara kepada seorangpun dari makhlukNya, kedudukan Allah
lebih agung dari hal itu. Celakalah kamu, tahukah kamu siapakah Allah itu? Sesungguhnya
ArsyNya di atas seluruh langitNya adalah seperti ini –beliau memberi isyarat
dengan jarinya membentuk sebuah kubah-, dan sesungguhnya ia
berderit karenaNya seperti pelana unta karena menahan beban penunggangnya.”
Ibnu Basysyar 1 berkata dalam haditsnya,
“Sesungguhnya Allah di atas ArasyNya dan ArasyNya di atas semua langitNya.”
(1 Ini merupakan tahrif (penyelewengan
nama), yang benar ialah Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Abu Bakar al-Muththalibi,
maula mereka. Hal ini dinukil oleh Dr. Walid Alu Furrayyan dalam naskah Fath
al-Majid yang dia tahqiq.)
[Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dengan sanad hasan menurutnya dalam Bab fi ar-Rad ‘ala al Jahmiyah, dari
hadits Muhammad bin Ishaq bin Yasar”. Syaikh Furaih bin Sholeh Al Bahlal
berkomentar: dengan itu dia (Al-Hafizh adz-Dzahabi) mengisyaratkan bahwa hadits
ini menurut dia adalah dhoif, sebab Muhammad bin Ishaq adalah rawi mudallis
(mudallis yakni perawi yang melakukan tadlis/ menyembunyikan cacat
atau cela yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara
zhahir). Lihat perbincangan seputar hadits ini dan syarah para ulama
untuknya di Aun al-Ma’bud, 4/370.]
Halaman 1234-1237, Fath al-Majid, Bab Tidak Boleh Menjadikan Allah
Sebagai Perantara Kepada MakhlukNya
(Hadits yang
diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im r.a ini sempat dipermasalahkan oleh sebagian kalangan, bahkan ada yang
mendha’ifkannya. Berikut ini adalah takhrijnya
secara lengkap. Ed.T).
Abu Dawud
meriwayatkan dalam as-Sunan, 5/94, no. 4726; Ibnu Abi Ashim dalam
as-Sunnah, 1/252, no 575-576; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 2/129, no.
1547; Al Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, 1/175, no. 92 dan Mashabih
as-Sunnah, no. 4455; Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, 1/239, no. 147;
al-Baihaqi dalam al-Asma wa ash-Shifat, 2/159; ad-Daruquthni dalam ash-Shifat,
hal. 52; ad-Darimi dalam ar-Rad Ala al-Jahmiyah, hal. 24; Muwaffiquddin
dalam Itsbat Shifat al-Uluw, hal. 60, no. 30; Abu asy-Syaikh dalam al-‘Azhamah,
2/554, no. 198; Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid, 7/141; dan al-Mizzi
dalam Tahdzib al-Kamal, 4/505, no. 903.
Mereka
meriwayatkannya dari sejumlah jalan periwayatan, dari Wahab bin Jarir bin
Hazim, dia berkata, bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata, Aku telah
mendengar Muhammad bin Ishaq menceritakan dari Ya’qub bin Utbah, dari Jubair
bin Muhammad bin Jubair bin Mu’thim, dari bapaknya, dari kakeknya, dia
berkata…..” Seorang Arab Badui datang …”. Al-Hadits.
Yang
meriwayatkannya dari Wahab bin jarir adalah sekelompok orang, diantara mereka
ialah: Ahmad bin Sa’id ar-Rubathi, Ahmad
bin al-Azhar an-Naisaburi, Ali bin al-Madini, Yahya bin Ma’in, Abdul A’la bin
Hammad an-Narsi juga, dan Muhammad bin Basysyar demikian.
Muhammad bin
Basysyar, Abdul A’la bin Hammad an-Narsi, Muhammad bin al-Mutsanna
meriwayatkannya dari Wahhab bin Jarir, bapakku telah menceritakan kepadaku, dia
berkata, Aku telah mendengar Muhammad
bin Ishaq menceritakan dari Ya’qub bin Utbah, dari Jubair bin Muhammad bin
Jubair bin Mu’thim, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata…..” Seorang Arab
Badui datang …”. Al-Hadits.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Saya (Syaikh Furaih Al-Bahlal) berkata,
“Perbedaan yang dimaksud” telah dijawab oleh Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Mizzi,
dan al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang Anda lihat.
Adapun tadlis
Ibnu Ishaq, maka telah dijawab oleh Ibnul Qayyim sebagaimana yang akan disebutkan, insyaAllah.
Sedangkan
mengenai status majhul Jubair bin Muhammad, maka menjadi hilang karena
adanya riwayat Ya’qub bin Utbah bin al-Mughirah al-Akhnas ats-Tsaqafi dan Hushain bin Abdurrahman
as-Sulami darinya; dan mereka berdua adalah orang yang tsiqah
(kredibel). Dan batas minimal yang mengangkat status majhul dari
seorang rawi adalah adanya periwayatan dua orang yang masyhur, sebagaimana
dinyatakan oleh an-Nawawi terdahulu. Lebih dari itu, Ibnu Hibban menyebutkannya
dalam ats-Tsiqat, 6/148. Dan bahwasannya Ibnu Khuzaimahtelah
menyatakannya sebagai seorang
yang adil dengan bukti adanya
periwayatan darinya; karena dia menetapkan syarat dalam mukadimah kitabnya ini
(yaitu Kitab at-Tauhid, pent.), bahwa dia tidak beristidlal kecuali dengan sesuatu yang shahih dan tsabit
dengan riwayat dari ahli riwayat yang adil. Berikut ini adalah redaksi
selengkapnya dari (pemimpin para imam) Ibnu Khuzaimah dalam Kitab at-Tauhid,
“… dan beriman
kepada sifat-sifat ar-Rahman Yang Maha Pencipta Yang Mahaagung dan Mahatinggi,
dengan sifat-sifat yang Dia sandangkan pada DiriNya di dalam al-Qur’an yang
diturunkanNya, yang mana tidak dihinggapi dengan kebatilan dari depannya maupun
dari belakangnya, dan (beriman) kepada sifat-sifat yang shahih dan tsabit dari
Nabi kita Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ,
dengan sanad-sanad yang tsabit lagi shahih, yang diriwayatkan oleh para perawi
yang adil secara maushul kepada Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam .”
Berdasarkan
ini, maka hadits ini adalah shahih menurut Imam Ibnu Khuzaimah; karena dia
menyebutkannya sebagai dalil atas ketetapan sifat al-Istiwa’ (bersemayamnya Allah di atas Arasy).
Lalu Imam
al-Baghawi menempatkannya dalam hadits-hadits yang hasan.
Dan Syaikh
Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mensyarahnya,
“Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata, ‘Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad yang
hasan menurutnya dalam membantah golongan al-Jahmiyah, yaitu dari hadits
Muhammad bin Ishaq bin Yasar.” (Fath
al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 520).
Imam Ibnul
Qayyim membela hadits ini, maka dia menyatakannya kuat dan menjawab illat-illatnya, dan saya melihat bahwa
di antara jawabannya yang paling bagus di sini adalah perkataannya, “Para ulama
(yang ahli dalam mengitsbatkan
riwayat) berkata, ‘Tidak ada sesuatu pun dalam hal ini yang dapat melegakan
bagi kalian untuk menolak hadits ini.’
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini adalah :
Dalam hadits ini terkandung penetapan (itsbat)
terhadap sifat ketinggian Allah atas makhlukNya, dan bahwa ArsyNya di atas
semua langitNya.Di dalam hadits ini juga terkandung tafsir terhadap makna
‘bersemayam’ (istiwa’) dengan ketinggian (uluw), sebagaimana para
sahabat, para tabi’in, dan para imam menafsirkannya. Lain halnya dengan
Mu’aththilah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan orang-orang yang mengambil pendapat
mereka seperti orang-orang Asy’ariyah dan semisal mereka yang melakukan ilhad
dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (Keterangan : ilhad yakni
sikap pengingkaran adanya Tuhan. Dan seringkali yang dimaksud dengannya adalah
aliran filsafat yang mengingkari terhadap keberadaan Allah T), serta
memalingkan dari makna yang sebenarnya dan yang ditunjukkannya, yaitu menetapkan
sifat-sifat Allah Ta’ala yang menunjukkan kesempurnaanNya ‘Azza wa Jalla,
seperti yang diyakini olehas-Salafus ash-Shalih, para imam, dan orang-orang
yang mengikuti mereka yang berpegang teguh kepada as-Sunnah, mereka menetapkan
sifat-sifat kesempurnaan yang Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dan RasulNya
tetapkan untukNya sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah dengan penetapan
tanpa tamtsil dan penyucian tanpa ta’thil. (Keterangan: tamtsil
adalah menyamakan Allah dengan selainNya, baik dzat maupun sifat, dan
sebaliknya, adapun ta’thil adalahmengingkari seluruh atau sebagian
sifat-sifat Allah, perbedaan ta’thil dengan tahrif adalah: bahwa ta’thil
tidak mengakui makna sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari Al Qu’an
atau hadits, sedangkan tahrif ialah merubah maknanya atau memberikan
tafsiran yang menyimpang dari makna sebenarnya yang dikandung oleh nash
tersebut.)
Allamah
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Miftah Dar as Sa’adah setelah
berbicara tentang apa yang membuat seorang hamba mengetahui dirinya dan Rabbnya
dari keajaiban makhluk-makhlukNya, dia berkata,
“Yang
kedua, hendaknya hal ini sampai pada penglihatan dengan bashirah batin (bashirah
yakni pengetahuan yang mendalam), sehingga
akan dibuka untuknya pintu-pintu langit, lalu dia mengembara di seluruh
penjurunya, kerajaanNya, dan diantara malaikat-malaikatNya,
kemudian dibukakan untuknya pintu demi pintu sehingga perjalanan hatinya sampai
ke Arsy ar Rahman, lalu dia melihat kebesaranNya, keagunganNya, kemuliaanNya,
kehormatanNya, dan ketinggianNya. Dia melihat langit-langit yang tujuh
dan bumi yang tujuh dibandingkan dengan Arsy ar Rahman seperti sebuah gelang
yang diletakkan di tengah padang pasir Sahara, dia melihat para
malaikat mengelilingi Arsy,sambil mengumandangkan tasbih, tahmid, taqdis dan
takbir.
Perintah
turun dari atasnya untuk mengatur para hamba dan bala tentara yang jumlahnya
hanya dapat diketahui oleh para pemilik dan Rabbnya, maka turunlah perintah
untuk menghidupkan suatu kaum dan mematikan yang lain, memberikan kekuasaan dan
mencabut kekuasaan yang lain, memindahkan nikmat dari suatu tempat ke tempat
lainnya, menunaikan hajat-hajat dengan berbagai ragam, bentuk dan jumlahnya,
berupa mencukupi orang yang kekurangan, membuat kaya yang fakir, menyembuhkan
orang sakit, menghilangkan kesulitan, mengampuni dosa, mengangkat mudarat,
menolong orang yang teraniaya, memberi petunjuk kepada orang yang bingung, mengajari yang jahil, mengembalikan hamba
sahaya yang kabur, member keamanan kepada yang takut, member perlindungan
kepada yang memintanya, member kekuatan bagi yang lemah,menolong yang dalam
kesusahan, membantu yang lemah, membalas yang berbuat zhalim, menahan
pelanggaran.
Inilah
ketetapan yang berporos antara keadilan, karunia, hikmah dan rahmat yang
menembus ke seluruh penjuru alam. Dia tidak disibukkan oleh satu pendengaran
terhadap sesuatu dari yang lain, tidak dipusingkan oleh banyaknya permintaan
dan hajat dengan berbagai macam bahasa, keanekaragamannya, dan dalam kesamaan
waktunya, Dia tidak marah karena permintaan yang terus menerus, kekayaanNya
tidak berkurang walaupun sekecil seekor semut, tidak ada Tuhan yang haq
selainNya, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Pada
saat itu, hati seorang hamba berdiri di hadapan Allah yang ar Rahman, dalam
keadaan merendah karena kebesaranNya, khusyu’ karena kagunganNya, dan tunduk
karena keperkasaanNya, maka dia bersujud di hadapan Maharaja yang Mahabenar
yang menjelaskan segala sesuatu sesuai dengan hakikatnya yang benar, dengan
sujud yang dia tidak akan mengangkat kepalanya darinya sampai Hari Kiamat.
Inilah perjalanan hati, sementara dia tetap di tanah airnya, di kotanya, dan
rumahnya. Ini termasuk tanda kebesaran Allah yang paling besar dan keajaiban
hasil ciptaanNya. Sebuah perjalanan yang benar-benar member berkah melimpah,
memberi buah dan keuntungan besar, memberi manfaat berharga dan memberi akhir
yang baik, perjalanan yang merupakan kehidupan hati, kunci kebahagiaan, harta
rampasan bagi akal dan pemikiran, bukan perjalanan yang merupakan salah satu
bentuk azab.” Selesai ucapan Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Halaman 1287-1290, Kitab Fathul Majid
Perincian Syarah
Hadits
Penulis Rahimahullah
menyebutkannya secara ringkas, yang tertera di Sunnan Abu Dawud adalah dari
al-Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata,
“Aku pernah
berada di Bath-ha’ bersama beberapa orang , di antara mereka adalah Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam , tiba-tiba muncullah awan melewati mereka, Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melihatnya,
kemudian bertanya, ‘Apa namanya menurut kalian?’ Kami menjawab, Sahab (awan).’
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Ia disebut juga Muzn.’ Mereka
berkata, ‘Ya, ia disebut juga Muzn.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Ia disebut juga ‘Anan.’ Mereka
berkata, ‘Ya, ia disebut juga ‘Anan.’ - Abu Dawud berkata, ‘Aku tidak menghapal
‘Anan dengan baik’- Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Tahukah kalian berapa jarak antara
langit dan bumi?’ Mereka menjawab, ‘Tidak tahu.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda, sesungguhnya
jarak di antara langit dan bumi adalah tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua
atau tujuh puluh tiga tahun perjalanan, kemudian jarak antara langit dengan
langit di atasnya juga demikian, -Sehingga Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan tujuh langit kemudian di atas
langit yang ketujuh adalah lautan, jarak antara dasar dengan permukaannya sama
dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain, kemudian di atas itu
adalah delapan malaikat berwujud kambing gunung, jarak antara kuku kakinya
dengan lututnya sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain,
kemudian di atas punggung mereka adalah Arasy, jarak bagian bawah dengan bagian
bagian atasnya adalah sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang
lain, kemudian Allah Ta’ala di atas itu’.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan
Ibnu Majah, at-Tirmidzi berkata, Hasan gharib.”
Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata,
“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Hasan.¹
[¹ Dalam
sanadnya terdapat al-Walid bin Abu Tsaur, haditsnya tidak dijadikan hujah.Abu
Dawud menyebutkannya dari jalan selain al-Walid. Allamah Ibnul Qayyim
Rahimahullah berkata dalam Tahdzib
as-Sunan, ‘Adapun menolak hadits ini karena al-Walid bin Abu Tsaur maka ia
tidak diterima, karena al-Walid tidak meriwayatkannya secara sendiri, namun ia
dimutaba’ah oleh Ibrahim bin Tahman,
keduanya dari Simak, dan dari jalannya Abu Dawud meriwayatkan. Ia juga
diriwayatkan dari Amru bin Abu Qais dari Simak, dari haditsnya at-Tirmidzi
meriwayatkan dari Abdullah bi Humaid, Abdurrahman bin Sa’ad mengabarkan kepada kami, dari Amru bin Abu
Qais.” Selesai.
Ia juga
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Hadits al-Walid bin Abu Tsaur dari Simak. Apa
kesalahan dari al-Walid dalam hal ini? Kesalahannya adalah karena dia
meriwayatkan hadits yang tidak sejalan dengan keyakinan Jahmiyah yaitu
alasannya yang berpengaruh bagi mereka.”]
At-Tirmidzi
meriwayatkan serupa dari hadits Abu Hurairah yang di dalamnya disebutkan,
(Jarak antara satu langit dengan langit yang lain adalah lima ratus tahun
perjalanan). Tidak ada pertentangan di antara keduanya, sebab perkiraan hal itu
dengan lima ratus tahun adalah menurut perjalanan sebuah kafilah misalnya,
sedangkan tujuh puluh tahun lebih menurut perjalanan dengan cepat. Bisa saja
dikatakan, perjalanan dari sini ke Mesai selama dua puluh hari dengan
perjalanan pada umumnya, dan hanya tiga hari dengan perjalanan kilat. Syarik
meriwayatkan sebagian hadits ini dari Simak dan dia memauqufkannya.” Ini adalah
akhir perkataan adz-Dzahabi. ²
[² Di dalam Qurrah al-Uyun disebutkan, “Saya
katakana, Hadits ini mempunyai beberapa syahid
di ash-Shahihain dan lainnya yang ditunjukkan secara jelas oleh al-Qur’an,
sehingga pendapat yang menyatakan dhaif tidak
dianggap. Penulis Rahimahullah memulai kitabnya yang agung in dengan
menjelaskan tauhid uluhiyah, karena
mayoritas umat yang hidup belakangan tidak mengetahui tauhid, bahkan mereka
melakukan syirik dan persekutuan yang
menafikan tauhid. Maka Syaikh Rahimahullah menjelaskan tauhid yang didakwahkan
oleh para rasul dan melarang umat dari kesyirikan mereka yang menafikan tauhid
ini, serta berjihad melawan orang-orang yang menyelisihinya dari kalangan
orang-orang yang menyekutukan Allah dalam beribadah kepadNya. Penulis
Rahimahullah menetapkan tauhid ini sebagaimana yang pembaca lihat pad bab demi
bab. Kemudian penulis menutup kitabnya dengan tauhid al Asma’ dan ash-Shifat, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai
perhatian terhadap tauhid ini, sementara di sisi lain dibahas secara
berlebih-lebihan oleh orang-orang yang merasa berilmu, di mana mereka mengambil
dari orang-orang yang berbicara mendalam dalam ilmu-ilmu ini, mereka berbaik
sangka terhadap ahli kalam, mereka mengira bahwa ahli kalam berpijak kepada
kebenaran, maka mereka menerima apa yang mereka dapatkan dari ahli kalam,
akibatnya mereka menetapkan madzhab Jahmiyah dan melakukan ilhad dalam Asma’ wa
ash-Shifat dan menyimpang dari petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah serta
keyakinan yang dipegang oleh salaf umat ini, para imam hadits dan tafsir dari
kalangan para pendahulu. Ahlus Sunnah wal Jama’ah terus berpegang teguh
kepadanya walaupun jumlah mereka sedikit, maka Allah memberi petunjuk kepada
imam ini untuk mengetahui tauhid dengan macam-macamnya kemudian dia
menetapkannya dengan didukung dalil-dalilnya. Segala puji bagi Allah atas
taufikNya dan hidayahNya kepada kebenaran pada saat Islam sangat terasing, yang
akibatnya tidak sedikit manusia penghuni desa-desa dan kota-kota yang tersesat
dalam hal ini. Hanya kepada Allah-lah kita memohon taufik.
Di dalam kitab ini telah terhimpun tiga macam
tauhid yang telah disayaratkan oleh Allamah Ibnul Qoyyim Rahimahullah dalam
ucapannya,
Ilmu ada tiga bagian,
tidak ada bagian keempat.
Dan kebenaran itu
sangatlah jelas.
1.Ilmu tentang
sifat-sifat Allah dan perbuatanNya.
Demikian pula
nama-nama bagi ar-Rahman.
2.Perintah dan
larangan yang merupakan agamaNya
3.Dan balasanNya pada
kehidupan yang kedua.
Dan shalawat
dan salam Allah curahkan kepada penghulu para rasul dan Imam orang-orang yang
bertakwa, Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya seluruhnya.]
Saya (Al Allamah
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh), Di dalam hadits ini terdapat penjelasan yang
tegas bahwa Allah di atas ArsyNya, sebagaimana yang telah di sebutkan di dalam
ayat-ayat muhkamat, hadits-hadits yang shahih, dan perkataan salaf dari
kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Hadits ini mempunyai beberapa
syahid di dalam ash-Shahihain dan selainya, sehingga tidak ada anggapan bagi
pendapat yang menyatakan dhaif, karena ia mempunyai banyak syahid yang
karenanya mustahil untuk ditolak atau dipalingkan dari zahirnya.
Hadits ini sama dengan dengan
hadits lain yang serupa yakni menunjukkan keagungan Allah, kesempurnaanNya, dan
kebesaran makhlukNya, dan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat sempurna yang
dengannya dia menyifati diriNya di dalam kitabNya dan RasulNya menyifatiNya,
bahwa kodrat Allah sempurna, dan bahwa Dia-lah satu-satunya yang berhak
disembah, tidak ada sekutu bagiNya, bukan selainNya.
Hanya kepada Allah-lah kita
memohon taufik. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam
semoga selalu tercurah Allah curahkan kepada sayyidina Muhammad, keluarga, dan
para sahabatnya seluruhnya.
Demikianlah, selesai sudah kitab
Fath al-Majid ini dengan pertolongan Allah Yang Maha Terpuji.
2. Halaman 1262- 1266
dari Kitab Fathul Majid Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid Syekh Muhammad bin
Abdul Wahab: Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhu berkata “Tidaklah langit yang tujuh dan bumi
yang tujuh serta makhluk yang berada di dalamnya berada di Tangan Dzat Yang Maha
Pengasih melainkan bagaikan sebiji sawi di tangan salah seorang di antara
kalian. “ (Majmu’ al Fattawa, 16/439).
Hamad bin Atiq berkata, “Pensyarah berkata, ’Sanad
ini dalam studi kritikku adalah shahih, dan yang dia maksud ialah Pensyarah
Kitab at-Tauhid, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Wahhab.”
Saya (Syaikh Furaih Al-Bahlal) berkata,minimal kondisi
sanadnya adalah hasan, (Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab
at-Tauhid, hal 135-136).
Ibnu Jarir berkata, Yunus telah
menceritakan kepadaku, Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami, dia berkata,
Ibnu Zaid berkata, bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata, Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah langit yang tujuh
(bila diletakkan) di al-Kursi, melainkan seperti tujuh keping dirham yang
diletakkan di atas perisai.”1
1(Hadits ini dipermasalahkan oleh sebagian
kalangan, bahkan ada yang mendhaifkannya. Berikut ini adalah takhrijnya
secara lengkap. Ed. T).
Penulis Kitab at-Tauhid berkata, “Dan Ibnu
Jarir berkata, ‘Yunus telah menceritakan kepadaku, Ibnu Wahhab telah
memberitakan kepada kami, dia berkata, Ibnu Zaid berkata, bapakku menceritakan
kepadaku, dia berkata, Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “ Tidaklah langit yang
tujuh di dalam al-Kursi melainkan bagaikan tujuh keping uang dirham yang
diletakkan diperisai.”
Lalu penulis berkata, “Dan Abu Dzarr r.a. berkata, Aku telah
mendengar Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah al-Kursi itu
didalam Arasy melainkan bagaikan selingkar besi yang diletakkan pada sebuah
tanah lapang yang luas dari bumi.”
Ibnu Jarir meriwayatkannya dengan sanad ini dalam at-Tafsir,
13/12, no. 5795, kemudian dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam at-Tafsir,
1/293, dan juga dalam al-Bidayah, 1/13, dan tidak mengomentarinya (sakata
‘anhu).
Abu asy-Syaikh al-Ashbahani juga meriwayatkannya dalam al-‘Azhamah,
2/587, no. 220, dari jalan Ashbagh bin al-Faraj, dia berkata, Aku telah
mendengar Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, dari bapaknya….
Abdurrahman ini adalah seorang yang dhaif, dan Zaid adalah
seorang tabi’in, sehingga khabar ini adalah mursal (Mursal adalah Hadits yang sanadnya terbuang dari
akhir sanadnya yaitu pada shahabat, sebelum tabi’in. Gambarannya adalah,
apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,”…”, atau “Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melakukan ini dan
itu …”).
Sedangkan hadits Abu
Dzarr, maka dimaushulkan oleh Ibnu Mardawaih. Ibnu Katsir berkata, “Abu
Bakara bin Mardawaih berkata, Sulaiman bin Ahmad telah mengabarkan kepada kami,
Abdullah bin Wahab al-Muqri’ telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abi
al-Yasari al-Asqalani telah mengabarkan kepada kami, dari al-Qasim bin Muhammad
ats-Tsaqofi, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzarr al-Ghifari ,
bahwasannya dia pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang al-Kursi, maka Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, “
Demi dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah langit yang tujuh dan bumi
yang tujuh di sisi al-Kursi, melainkan bagaikan selingkar gelang yang di atas
tanah lapang yang luas, dan bahwasannya keutamaan Arasy disbanding al-Kursi itu
adalah bagaikan tanah lapang yang luas dibanding selingkar gelang tersebut.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/293, dan al-Bidayah wa an-Nihayah, 1/13).
Sulaiman bin Ahmad ialah at-Thabrani, pemilik tiga kitab Mu’jam
Hadits yang tiga. Dan Abdullah bin Wahab al-Muqri’ ialah Abu al-Abbas
al-Judzami al-Ghazzi; disebutkan oleh al-Mizzi di dalam deretan murid-murid
Muhammad bin Abu al-Yasari, dan saya tidak mendapatkan biografinya. Sedangkan
gurunya Muhammad bin Abu al-Yasari, yang benar adalah as-Sari al-Asqalani.
Al-Hafizh berkata dalam at-Taqrib, “ Dia seorang yang jujur tetapi
memiliki kesalahan berpraduga.”
Adapun biografi Muhammad bin Abdullah at-Tamimi, maka saya
tidak mendapatkannya, sedangkan al-Qasim bin Muhammad ats-Tsaqafi, maka ibnu
Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat, 5/305. Kemudian Abu Idris
al-Khaulani;al-Hafish berkata tentangnya dalam at-Taqrib, “ Dia
dilahirkan di masa hidup Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , dan sempat
mendengarkan riwayat dari para sahabat; namanya ialah: A’idz bin Abdullah.
Jalan Periwayatan lainnya:
Al-Baihaqi berkata,”Al-Hafizh Muhammad bin Abdullah
mengabarkan kepada kami, Abu al-Hasan Ali bin al-Fadhl as-Samiri di Baghdad memberitakan kepada
kami, al-Hasan bin ‘Arafah al-‘Abdi telah menceritakan kepada kami, Yahya bin
Sa’id as-Sa’di al-Bashri telah menceritakan kepada kami, Abdul Malik bin Juraij
telah menceritakan kepada kami, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair al-Laitsi,
dari Abu Dzarr r.a. ...”. Al-Hadits (Al-Asma’wa ash-Shifat, 2/148).
Al-Baihaqi berkata lagi, “Hadits ini diriwayatkan sendirian
oleh Yahya bin Sa’id as-Sa’di. Yahya ini dikatakan oleh Ibnu Hibban. ‘Dia
adalah seorang syaikh yang meriwayatkan hadits-hadits yang terbolak-balik dari
Ibnu Juraij, dan meriwayatkan ahdist-hadits yang “serupa tapi tak sama” dari
orang-orang tsiqah selain Ibnu Juraij; tidaklah halal berhujjah dengannya
apabila dia meriwayatkan suatu hadits sendirian.” (Al-Majruhun, Ibnu
Hibban,3/129).
Al-Baihaqi berakata, “Hadits ini memiliki syahid
dengan sanad yang lebih shahih. Al-Baihaqi menyebutkannya dengan
sanadnya dari jalan Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya al-Ghassani, bapakku
telah menceritakan kepadaku, dari kakekku, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu
Dzarr, dia berkata, “ Aku bertanya, Wahai Rosulullah, apa
ayat yang paling agung yang turun kepada anda?’ Beliau menjawab,’Ayat
Kursi.’kemudian beliau bersabda,’Wahai Abu Dzarr, tidaklah
langit yang tujuh dibandingkan al-Kursi melainkan bagaikan selingkar gelang
diletakkan d iatas tanah lapang yang luas, dan keutamaan Arasy
dibandingkan al-Kursi adalah bagaikan tanah lapang yang luas dibanding
selingkar gelang tersebut.” (Al-Asma’ wa ash-Shifat, 2/148).
Dan dari jalan Ibrahim bin Hisyam ini, Abu asy-Syaikh
meriwayatkannya dengan lafazh mirip. (Al-Azhamah , 2/649, no.259)
Dan dengan jalur riwayat itu, Ibnu Hibban juga
meriwayatkannya dalam ash-Shahih,2/76, no.361; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah,
1/166 dalam sebuah hadits yang panjang, dan di dalamnya disebutkan, “Saya bertanya, ‘Wahai
Rosulullah, apa sesuatu yang Allah turunkan kepada Anda yang paling agung?’
Beliau menjawab,’Ayat al-Kursi’, kemudian beliau bersabda,
‘Wahai Abu Dzar tidaklah langit yang tujuh…’.”Al-Hadits.
Ibrahim bin Hisyam diaktakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Mughni
fi adh-Dhua’afa’, no.201, “ Dinyatakan tsiqah oleh ath-Thabrani,
tetapi dinyatakan memili kelemahan oleh Abu Hatim dan lainnya, dan bahwasannya
dia adalah seorang yang tidak tsiqah.”
Saya berkata, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat,
8/79.
Dan hadits ini memiliki jalan periwayatan lain, dimana Abu
Nu’aim berkata setelah meriwayatkannya, “Al-Mukhtar bin Ghassan
meriwayatkannya, dari Ismail bin Salamah, dari Abu Idris.
Ali bin Zaid meriwayatkannya dari al-Qasim, dari Abu Umamah,
dari Abu Dzarr.
Ubaid bin al-Hashas juga meriwayatkannya dari Abu Dzarr.
Mu’awiyah bin Shalih juga meriwayatkannya, dari Abu Abdul
Malik Muhammad bin Ayyub, dari Ibnu A’idz, dari Abu Dzarr, secara panjang
lebar.
Kemudian Ibnu Juraij juga meriwayatkannay, dari Atha’, dari
Ubaid bin Umair, dari Abu Dzarr juga secara panjang lebar.
Al-Qurthubi berkata,”Al-Ajjuri dari Abu Hatim al-Busti
meriwayatkannya dalam Shahih Musnadnya, dan al-Baihaqi. Dia menyebutkan
bahwa hadits ini adalah shahih.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi,
2/1086).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “ Didalam hadits Abu Dzar yang
panjang dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban,
“Bahwasannya Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Wahai Abu Dzarr, tidaklah
langit yang tujuh dibanding al-Kursi, melainkan bagaikan selingkar
gelang dilemparkan pada tanah lapang yang luas, dan keutamaan Arasy dibanding
al-Kursi itu sendiri adalah bagaikan tanah lapang yang luas tersebut dibanding
selingkar gelang itu tadi.”
Dan ini memiliki syahid dari Mujahid, yang diriwayatkan oleh
Sa’id bin Mansyur dalam at-Tafsir dengan sanad yang shahih darinya.” (Fath
al-Bari, 13/411).
Saya berkata, Atsar Mujahid ini diriwayatkan oleh
al-Baihaqi juga dengan mengatakan, “Abu Nashr bin Qatadah telah mengabarkan
kepada kami, Abu Manshur bin an-Nadhrawi telah mngabarkan kepada kami, Ahmad bin Najdah
telaj menceritakan kepada kami, Sa’id bin Manshur telah menceritakannya kepada
kami, Abu Mu’awiyah telah menceritakan kepada kami, dari al-A’masy, dari
Mujahid, dia berkata, “Tidakalah langit dan bumi di al-Kursi melainkan
bagaikan selingkar gelang yang diletakkan pada tanah lapang yang luas.”
(Al-Asma’ wa ash-Shifat, 2/149).
Para perawinya adalah
para perawi ash-Shahih.
Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkannya dalam as-Sunnah,
hal.55, no.268; dan Abu asy-Syaikh al-Ashbahani dalam Al-Azhamah, 2/585,
no.218, 248, 249, dari jalan: Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid, dengan hadits
tersebut (Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab at-Tauhid, hal. 137-140).
Ibnu Jarir juga berkata, Abu Dzarr r.a. berkata, Aku telah
mendengar Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah al-Kursi itu (bila
diletakkan) di atas Arasy, melainkan seperti gelang besi yang dicampakkan d itengah padang pasir.”1
Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Jarak antara langit
paling bawah dengan langit di atasnya adalah lima ratus tahun (perjalanan).
Jarak antara setiap langit adalah lima ratus tahun (perjalanan). Jarak
antara langit ke tujuh dengan al-Kursi adalah lima ratus tahun (perjalanan).
Jarak antara al-Kursi dengan samudera adalah lima ratus tahun (perjalanan).
Sedangkan Arasy berada di atas samudera itu. Dan Allah berada di atas Arasy
tersebut. Dan tidak ada sedikitpun amal perbuatan kalian yang samar bagi
Allah.”2
Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi, dari Hammad bin Salamah, dari
Ashim, dari Zirr, dari Abdullah. Dan diriwayatkan oleh al-Mas’udi dengan lafazh
serupa dari Ashim, dari abu Wa’il, dari Abdullah.
1 Lihat takhrij sebelumnya.
2Diriwayatkan pula oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Kabir, no.8987 (tahqiq Hamdi Abdul Majid as-Salafi), dan berkata
al-Haitsami dalam al-Majma’ no. 284, “ Diriwayatkan oleh ath-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan para rawinya adalah rawi-rawi as-Shahih.
Tebal
Setiap Langit Adalah Jarak Perjalanan Lima Ratus Tahun (Kandungan Bab 66)
Kandungan Bab 66, dikutip dari Kitab Fathul Majid
Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, halaman
1270-1272, (dilengkapi dengan kitab
takhrij hadits-hadits yang dianggap lemah sejumlah 31 hadits yang
berjudul Takhrij Ahadits Muntaqadah
fi Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Furaih bin Shalih Al-Bahlal), Penerbit Pustaka Shahifa, Jakarta tahun 2009.
Pertama: Tafsir Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala,
“Padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada Hari Kiamat.”
Kedua: Bahwa ilmu-ilmu ini yang semisal dengannya
masih dikenal di kalangan orang-orang Yahudi pada zaman Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam , mereka tidak mengingkari dan tidak pula menakwilkannya.
Ketiga: Ketika ulama Yahudi tersebut mengatakan ilmu
ini kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau membenarkannya, dan
turunlah Al-Qur’an menegaskan hal itu.
Keempat: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tertawa
ketika ulama Yahudi ini menyampaikan ilmu agung ini kepada beliau.
Kelima: Hadits ini menyebutkan dengan jelas bahwa
Allah mempunyai dua tangan dan bahwa langit-langit di Tangan kananNya dan
bumi-bumi di TanganNya yang lain.
Keenam: Hadits ini menyatakan dengan jelas bahwa
tangan yang lain ini adalah tangan kiri.
Ketujuh: Keadaan orang-orang yang bertindak sombong
dan lalim pada Hari Kiamat.
Kedelapan: Ucapan Ibnu Abbas bahwa langit yang tujuh
dan bumi yang tujuh di tangan ar-Rahman adalah layaknya biji sawi (khordalah-peny)
di tangan seseorang.
Kesembilan: Besarnya al-Kursi dibandingkan
dengan langit.
Kesepuluh: Besarnya Arasy dibandingkan dengan al-Kursi.
Kesebelas: Bahwa Arasy bukan al-Kursi dan
bukan samudera.
Keduabelas: Jarak antara satu langit dengan langit
yang lain.
Ketigabelas: Jarak antara langit ketujuh dengan al-Kursi.
Keempat belas: Jarak antara al-Kursi dengan
samudera.
Kelima belas: Bahwa Arasy berada di atas samudera.
Keenam belas: Bahwa Allah berada di atas Arasy.
Ketujuh belas: Jarak antara langit dengan bumi.
Kedelapan belas: Tebal setiap langit adalah jarak
perjalanan lima ratus tahun.
Kesembilan belas: Bahwa samudera yang ada di atas
langit, antara dasar dengan permukaannya adalah jarak perjalanan lima ratus
tahun. Wallahua’lam.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta
alam, semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada sayyidina
Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya seluruhnya.