.
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Salam The KingAnda Bisa Menunda Untuk Berubah Karena Banyaknya Urusan. Tapi Hidup Tidak Pernah Menunda Urusannya Untuk Menunggu Anda Berubah. Sebuah rencana yang hebat dapat gagal hanya karena kurangnya kesabaran. ....
  • Salam The King: Jika anda tidak pernah merasakan kegagalan, itu artinya anda belum mengetahui artinya sebuah keberhasilan. ...
  • Salam The King: :Daripada Mengeluh Mawar bertangkai penuh duri, Lebih baik bergembira bahwa tangkai berduri itu berbunga mawar ...
  • Salam The King: Dunia ini ibarat sebuah lautan yang luas, dan kita adalah kapal yang berlayar dilautan yang telah banyak kapal karam didalamnya. Namun andai muatan kapal kita adalah iman,dan layarnya adalah takwa, yakinlah bahwa kita tidak akan pernah tersesat dilautan kehidupan itu. ...
  • Salam The King: :Jangan biarkan cintamu dalam ketakutan, percayalah bahwa akhirnya kamu dan dia akan hidup bersama. Saling percaya dan setia....
  • Kenangan Semasa SMK

    Sugeng rawuh/selamat datang di my Blogger,dapatkan informasi menarik setiap bulannya....

  • CAR FREE DAY Kota Klaten Bersinar

    Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain walau terkadang qt sllu mrasa di rugikan, jangan berhenti,sebelum Allah benar-benar memberhentikan langkah dan hidup qt. Jangan gampang menyerah selagi msih bs brnafas dan msh kuat berdiri. ..

  • Foto Ijazah,keren kan :p

    Hallo,apa kabar rekan pengunjung blogger,semooga sehat-sehat semua,, semoga info yang saya update bermanfaat untuk kita semua.amin....

  • TEKNIK KOMPUTER dan JARINGAN.

    Selamat membaca-baca isi blog sederhana saya semoga sempat berkunjung kembali:) ...

visitor

free counters

Jam

Rabu, 08 Agustus 2012

Menjaga Kesehatan Tulang

Posted by Handiyas Prabowo On 18.30

 Tulang yang kuat dan sehat merupakan investasi yang penting di kemudian hari. Coba bayangkan jika tulang keropos, Anda tidak akan bisa berdiri tegak, apalagi untuk berjalan.



Itulah mengapa kesehatan tulang perlu diperhatikan. Professor Dawn Skelton, seorang ahli kesehatan dan penuaan di Glasgow Caledonian University, memaparkan beberapa cara untuk menstimulasi tulang agar tetap sehat dan kuat, seperti dilansir melalui Mirror (5/6).

Konsumsi makanan bervitamin D
Untuk mendapatkan 1.000 mg kalsium per hari, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memakan makanan yang menjadi sumber terbaik dari kalsium. Cobalah untuk mengonsumsi susu rendah lemak dan yogurt, serta ikan salmon dan sardin.

Jangan lupa juga menyantap sayuran hijau, seperti kangkung, brokoli dan bayam yang kaya kalsium. Buah-buahan kering, seperti kismis dan buah ara yang dicampurkan pada sereal juga boleh Anda santap.

Yuk berjemur
Vitamin D membantu tubuh menyerap kalsium. Sumber utama vitamin D yang mudah dan murah ditemukan berasal dari sinar matahari. Hanya dengan 10 menit berjemur, maka Anda sudah mengurangi risiko patah tulang hingga 30 persen.

Ayo gerak!
Cara lain untuk meningkatkan kekuatan tulang adalah dengan latihan beban, terutama untuk merenggangkan otot dan meningkatkan pertumbuhan tulang. Penelitian menunjukkan bahwa jika Anda tidak berolahraga, maka Anda cenderung sulit untuk mendapatkan tulang yang lebih besar dan padat.

Berhenti merokok dan minum alkohol
Orang yang merokok cenderung memiliki kepadatan tulang yang rendah. Sementara, orang yang minum alkohol lebih dari tujuh minuman dalam seminggu dapat mencegah tulang menyerap nutrisi maksimal dari makanan Anda.

Jaga tingkat stres
Tingkat stres yang tinggi membuat tubuh memproduksi hormon kortisol yang menyebabkan hilangnya massa tulang. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko osteoporosis. Coba buat diri Anda lebih rileks dengan melakukan yoga, jalan santai ke taman bersama anjing peliharaan atau mendengarkan musik.

sumber: ​Ghiboo.com -

Minggu, 15 Juli 2012

BERBAGAI MASALAH BERKAITAN DENGAN DZIKIR DAN DOA

Posted by Handiyas Prabowo On 19.26


1.                   FAIDAH-FAIDAH DZIKIR
Saya menurunkan semua itu dari faidah-faidah yang telah disebutkan yang alim Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitabnya, Al-Wabil Ash-Shayyib.
1.       Bahwasannya dzikir itu mengusir syetan, menghantamnya dengan telak dan membinasakannya.
2.       Bahwasannya dzikir itu mengandung keridhaan Ar-Rahman Azza wa Jalla.
3.       Bahwasannya dzikir itu mengusir rasa sedih dan gundah di dalam hati dengan rasa sukaria, bahagia dan semangat.
4.       Bahwasannya dzikir itu menguatkan hati dan badan.
5.       Bahwasannya dzikir itu memberikan cahaya kepada wajah dan hati.
6.       Bahwasannya dzikir itu mengundang rezeki.
7.       Bahwasannya dzikir itu menyelimuti orang yang melakukannya dengan wibawa, rasa manisnya dzikir, dan kecerahan.
8.       Bahwasannya dzikir itu mewariskan rasa cinta yang merupakan ruh Islam, puncak perputaran agama, dan poros kebahagiaan dan keselamatan.
9.       Bahwasannya dzikir itu mewariskan rasa muraqabah ‘dipantau Allah’ sehingga dengannya seseorang memasuki pintu ihsan. Seseorang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya. Dan bagi orang yang lalai tiada jalan menuju dzikir hingga sampai ke maqam ihsan.
10.   Bahwasannya dzikir itu mewariskan taubat dan kembali kepada Allah Ta’ala.
11.   Bahwasannya dzikir mewariskan kedekatan kepada Allah Ta’ala; seukuran itu pula kedekatannya kepada Allah; dan seberapa kadar kelalaian seseorang kepada Allah; seukuran itu pula kadar jauhnya dari Allah.
12.   Bahwasannya dzikir itu membukakan baginya pintu agungdi antara pintu-pintu pengetahuan. Setiap kali seseorang memperbanyak kadar dzikirnya, bertambah pula pengetahuannya.
13.   Bahwasannya dzikir itu mewariskan rasa takut kepada Rabbnya dan semangat mengagungkan-Nya. Hal itu karena kekuasaan dahsyat atas hatinya dan kebersamaannya selalu dengan Allah Ta’ala, yang berbeda dengan orang lalai. Bahwa penutup rasa takut itu sangat tidak kentara dalam hati.
14.   Bahwasannya dzikir itu mewariskan kepadanya ingat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu….” (Al-Baqarah: 152)
Jika tiada apa-apa dalam dzikir selain satu ini saja telah cukup utama dan mulia.
15.   Bahwasannya dzikir itu mewariskan kehidupan hati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati, bagaikan air bagi ikan. Maka, bagimana kondisi ikan jika meninggalkan air?”.
16.   Bahwasannya dzikir adalah makanan hati dan ruh.
17.   Bahwasannya dzikir itu membersihkan hati dari karatnya.
Tidak diragukan lagi bahwa hati berkarat seperti berkaratnya kuningan, perak, dan selainnya. Bersihnya hati adalah dengan dzikir. Sesungguhnya dzikir itu akan menjadikan hati cemerlang hingga seperti cermin yang bersih. Jika dzikir ditinggalkan, hati menjadi berkarat; dan jika berdzikir, maka hati menjadi cemerlang.
Hati menjadi berkarat karena dua hal: lalai dan dosa. Dan cemerlangnya karena dua hal: istighfar dan dzikir.
Barangsiapa yang kelalaiannya mendominasi waktu, maka akan menjadi berkarat yang berlapis-lapis pada hatinya. Karatnya sesuai dengan kelalaiannya. Jika hati berkarat, maka semua pengetahuan tidak akan tergambar sesuai dengan kenyataannya, sehingga melihat kebathilan dalam bentuk kebenaran; dan melihat kebenaran dalam bentuk kebathilan. Bila karat hati berlapis-lapis, suasana menjadi gelap sehingga tidak akan terlihat baginya bentuk kebenaran sebagaimana aslinya. Jika karat hati berlapis-lapis dan menghitam, lalu dilapisi pembusukan, rusaklah daya analisis dan daya pemahamannya sehingga tidak menerima lagi kebenaran dan tidak mengingkari kebathilan. Ini adalah siksaan hati yang paling dahsyat.
18.   Bahwasannya dzikir itu menggugurkan, lalu melenyapkan berbagai kesalahan. Dzikir adalah kebaikan yang paling agung; dan perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
19.   Bahwasannya dzikir itu menghilangkan rasa hampa antara dirinya dan Rabbnya. Sesungguhnya bagi seseorang yang lalai, antara dirinya dan Rabbnya Ta’ala ada kehampaan, dan rasa hampa itu tidak akan hilang melainkan dengan dzikir.
20.   Bahwasannya apa yang dapat digunakan seseorang hamba untuk berdzikir kepada Rabbnya dengan mengagungkan-Nya, bertasbih kepada-Nya, atau bertahmid memuji kepada-Nya akan mengingatkan pelakunya pada saat dalam kondisi sulit.
21.   Bahwasannya seorang hamba jika mendekatkan diri kepada  Allah Ta’ala dengan dzikir kepada-Nya ketika dalam kondisi bahagia, maka akan mengetahui ketika dalam kesulitan.
22.   Bahwasannya dzikir itu menyelamatkan diri dari adzab Allah Ta’ala.
23.   Bahwasannya dzikir adalah sebab turunnya ketenangan, meluapnya rahmat, dan liputan malaikat. Hal itu sebagaimana disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Tidaklah suatu kaum duduk, lalu berdzikir kepada Allah Ta’ala, melainkan mereka akan diliputi oleh para malaikat, dicurahi rahmat, turun kepada mereka ketenangan dan mereka akan disebut Allah di antara para hamba yang ada di sisi-Nya.” (Diriwayatkan Muslim, no. 2700).
24.   Bahwasannya dzikir adalah sebab yang menyibukkan lisan dari perbuatan ghibah, mengadu domba, berkata keji, berkata bathil.
25.   Majelis-majelis dzikir adalah majelis-majelis para malaikat, sedangkan majelis-majelis untuk main-main dan lalai adalah majelis-majelis syetan.
26.   Bahwasannya ahli dzikir akan merasa bahagia dengan dzikirnya dan para teman duduknya. Dia adalah orang yang penuh berkah di mana pun berada. Sedangkan orang yang lalai akan merasa sengsara dengan main-main dan kelalaiannya. Orang-orang yang bergaul dengannya akan merasa sengsara karenanya.
27.   Bahwasannya dzikir akan mengamankan setiap hamba dari kerugian pada Hari Kiamat. Dan sesungguhnya setiap hamba dalam mejelis yang tidak menyebutkan nama Rabbnya Ta’ala, maka akan mengalami kerugian di Hari Kiamat.
28.   Bahwasannya menangis dalam kesepian adalah penyebab naungan Allah Ta’ala bagi seorang hamba pada hari ketika semua manusia dihimpunkan di Mahsyar yang agung di bawah Arsy-Nya, sedangkan semua orang berada di bawah Arsy-Nya, sedangkan semua yang berada di bawah panas terik matahari yang melelehkan mereka di tempatnya. Sedangkan seorang ahli dzikir akan mendapatkan naungan di bawah Arsy Ar-Rahman Azza wa jalla.
29.   Bahwasannya menyibukkan diri dengan dzikir adalah penyebab bagi turunnya pemberian Allah Ta’ala bagi ahli dzikir yang merupakan pemberian terbaik yang diberikan kepada para peminta.
30.   Bahwasannya dzikir adalah ibadah yang paling mudah. Dan termasuk di antara ibadah yang paling manis dan utama. Sesungguhnya gerakan lisan adalah gerakan anggota badan yang paling ringan dan paling mudah. Jika salah satu anggota badan seorang manusia bergerak selama sehari semalam sama dengan gerakan lisan , pasti akan sangat berat terasa olehnya, bahkan hal itu tidak mungkin.
31.   Bahwasannya dzikir adalah ibadah tanaman surga. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa mengucapkan: Subhaanallahil ‘adhiim wa bihamdihi,’Maha Suci AllahYang Mahaagung dan segala puji hanya bagi-Nya’, maka ditanam baginya sebatang kurma dalam surga.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, no. 3464; dan dishahihkan Al-Albani. Lihat Shahih At-Tirmidzi.)  
32.   Bahwasannya pemberian dan karunia yang diberikan karena dzikir tidak pernah diberikan karena amal yang lain apa pun.
33.   Bahwasannya berkelanjutan dalam dzikir kepada Allah Ta’ala akan memastikan adanya rasa aman yang terpancar dari lisan yang sering menjadi penyebab kesengsaraan hamba dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Maka sesungguhnya melupakan Rabb memastikan dirinya lupa kepada dirinya dan segala kemaslahatannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (A l-Hasyr: 19)
34.   Bahwasannya dzikir akan memperjalankan seorang hamba sekalipun dia berada di atas kasurnya, di pasar, sehat atau sakit, senang dan bahagia, di tempat kerjanya dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring, bepergian, atau ketika mukim. Dengan demikian dalam hal waktu dan kondisi tiada sesuatu yang berlaku umum kapan pun dan bagaimana pun seperti berdzikir.
35. Dzikir adalah cahaya bagi ahli dzikir ketika di dunia, dalam kuburnya, dan di akhirat yang akan memancar di hadapannya di atas shirath ‘jembatan’. Oleh sebab itu, beliau sangat serius memohon cahaya kepada Rabb, sehingga beliau memintanya agar ada dalam daging tubuh dan tulang, urat-urat dan rambut, pendengaran dan penglihatan, atas dan bawah, kanan dan kiri, belakang dan depan beliau. Sehingga beliau berucap:
“Dan jadikanlah aku sebagai cahaya.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Rabbnya agar menjadikan cahaya pada dzat beliau yang lahir ataupu n batin, dan sudi kiranya meliputi beliau dari segala penjuru. Maka, agama Allah adalah cahaya. Kitab-Nya adalah cahaya. Rasul-Nya adalah cahaya. Rumah-Nya yang disediakan untuk para wali-Nya adalah cahaya yang gemerlap. Allah Ta’ala adalah cahaya semua lapisan langit dan bumi. Diantara nama-nama-Nya adalah An-Nuur Ta’ala.

36. Bahwasannya dzikir adalah pokok segala asas. Jalan umum bagi semua kelompok dan sangat diharapkan semua wilayah. Barang siapa yang dibukakan dalam dzikir baginya, maka telah dibukakan pintu untuk masuk menuju kepada Allah Azza wa Jalla.   Hendaknya dia mensucikan diri dan datang kepada Rabbnya, dia akan menemukan di sisi-Nya segala apa yang dia inginkan. Jika dia menemukan Rabbnya Ta’ala, maka dia akan menemukan segala sesuatu. Dan jika dia meninggalkan Rabbnya Ta’ala, maka dia akan kehilangan segala sesuatu.

37. Bahwasannya dzikir itu menghimpun semua yang terpancar; dan memencarkan apa-apa yang telah terhimpun. Mendekatkan yang jauh; dan menjauhkan yang dekat. Dia menghimpun apa-apa yang telah terpencar-pencar dalam diri seorang hamba berupa hati dan kehendaknya; dan memencarkan apa-apa yang telah padu antara kesedihan dan kegalauan, kesedihan dan penyesalan. Juga memencarkan apa-apa yang terhimpun. Padanya berupa pasukan syaitan. Sesungguhnya iblis -laknat atas dirinya- yang masih saja mengirimkan pasukan patroli secara periodik, pasukan demi pasukan. Sedangkan dzikir mendekatkan akhirat dan menjadiakan akhirat besar dalam hatinya, mengecilkan dunia menurut pandanganya, dan sekaligus menjauhkan dunia itu dari hati dan lisannya.

38. Bahwasannya dzikir membangunkan hati dari tidur pulasnya dan membangkitkan dari ngantuknya. Jika hati tidur, maka akan ketinggalan segala macam keuntungan dan kesempatan berbisnis. Dan pada umumnya  mengalami kerugian

39. Bahwasannya dzikir adalah sebatang pohon yang membuahkan berbagai  pengetahuan.

40. Bahwasannya seorang ahli dzikir akan sangat dekat dengan Dzat yang dia berdzikir kepada-Nya. Dzat Yang dia bedzikir kepada-Nya. Dzat Yang dia bedzikir kepada-Nya  bersama-Nya. Kebersamaan ini adalah kebersamaan benuansa perlindungan dan cinta, pertolongan dan taufik. Hal itu karena firman Allah  Ta’ala,
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl: 128)
“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
“ Janganlah kamu berduka cita, sesunggunya Allah beserta kita.” ( At-Taubah: 40 ).
Seorang ahli dzikir adalah orang yang besar begiannya ketika mendapatkan kebersamaan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi. “Aku bersama hamba-Ku jika dia berdzikir kepada-Ku. Dengan-Ku kedua bibirnya bergerak.” ( Diriwayatkan Ahmad 2/540. dishahihkan Al-Albani. Lihat Shahih Al-Jami’, no. 1906 )

41. Dzikir itu seimbang dengan satu tebasan pedang di jalan Allah  Ta’ala setelah menginfakkan harta dan menunggang di atas punggung kuda di atas jalan Allah  Ta’ala.

42. Bahwasannya dzikir adalah pokok kesyukuran. Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah  Ta’ala selama belum dzikir kepada-Nya.

43. Bahwasannya makhluk yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah dari kalangan orang-orang beriman yang lisannya selalu basah karena dzikir kepada-Nya. Maka, dia menjadi orang yang ditetapkan di atas perintah dan larangan-Nya. Dzikirnya dijadikan syiar,dan ketakwaan memutlakkan dirinya untuk masuk surga dan selamat dari api neraka.

44. Bahwasannya tiada yang bisa menghilangkan sifat kekerasan hati, kecuali dzikir kepada Allah  Ta’ala. Seseorang berkata kepada Al-Hasan Al- Bashri Rahimahullah. “Wahai Abu Said, aku mengadukan kepada engkau tentang kerasnya hatiku?” dia menjawab, “Leburkan dengan dzikir.”

45. Bahwasannya dzikir adalah kesembuhan dan obat bagi hati. Lalai adalah penyakitnya. Hati-hati pada sakit dan kesembuhan serta obatnya ada dalam dzikir kepada Allah Ta’ala.

46. Bahwasannya dzikir adalah dasar dalam memanifestasikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya penolong, sedangkan lalai adalah dasar sikap permusuhan dengan-Nya. Seorang hamba selama masih dzikir kepada Rabbnya sehingga mencintai-Nya dan akhirnya menjadikan-Nya sebagai satu-satunya Penolongnya. Dan selama seorang hamba lalai kepada-Nya sehingga dia benci kepada-Nya lalu memusuhi-Nya.

47. Bahwasannya dzikir adalah sesuatu yang mampu menarik berbagai macam nikmat Dari Allah Ta’ala dan tidak ada sesuatu yang mampu mencegah berbagai macam bencana sebagaimana dzikir. Jadi dzikir menarik berbagai macam nikmat dan mencegah berbagai macam bencana. Sebagian kalangan salaf berkata, “Betapa buruk kelalaian itu dibanding dzikir, yaitu orang yang tidak lalai untuk bakti kepada-Mu.”

48. Dzikir memastikan shalawat dari Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya kepada orang yang berdzikir itu. Siapa saja yang Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas-Nya, maka dia telah beruntung dan menang yang sesungguhnya.

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan sore. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu)…” (Al-Ahzab: 41-43)
49. Bahwasannya barangsiapa  yang ingin tinggal dalam taman surga, hendaknya dia banyak tinggal dalam majelis dzikir. Majelis dzikir adalah taman surga.

50. Bahwasannya majelis dzikir adalah majelis para malaikat. Tiada majelis-majelis di dunia ini yang menjadi majelis mereka, kecuali majelis yang di dalamnya dzikir kepada Allah. Sebagaimana telah ada dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah itu memiliki para malaikat yang selalu berkeliling di jalan-jalan untuk mencari ahli dzikir.” (Muttafaq ‘alaih, Al-Bukhari no. 6408, Muslim no. 2789)

51. Bahwasannya Allah Ta’ala membanggakan para ahli dzikir kepada para malaikat-Nya. Sebagaimana telah dikabarkan dari Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘Anhu, berkata, “Mu’awiyah keluar prig menuju sebuah halaqah di masjid, lalu berkata, “Apa yang menjadikan kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala.” Dia berkata, “Apakah Allah tidak menjadikan kalian duduk, kecuali hanya untuk itu?” Mereka menjawab, “Allah tidak menjadikan kami duduk melainkan hanya untuk itu.” Dia berkata, sedangkan aku tidak akan bersumpah karena menuduh kalian semua.” Dia juga berkata, “Tiada seorangpun yang setingkat denganku yang lebih sedikit pembicaraannya daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sedikit pembicaraannya dari padaku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju ke sebuah halaqah para shahabatnya, lalu bersabda, ‘Apa yang menjadikan kalian duduk di sini?’ Para shahabat menjawab, ‘Kami duduk untuk dzikir kepada Allah Ta’ala, memuji-Nya atas petunjuk-Nya untuk kami kepada Islam dan dengan Islam Dia menganugerahi kami dengan kehadiran engkau,’ Beliau bertanya, ‘Apakah Allah tidak menjadikan tidak menjadikan kalian duduk, melainkan  hanya untuk itu?’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah, Dia tidak menjadikan kami duduk melainkan hanya untuk itu.’ Beliau bersabda, ‘Ketahuilah sesungguhnya aku tidak bersumpah untuk menuduh kalian. Akan tetapi, Jibril ‘Alaihissalam telah datang kepadaku dan menyampaikan bahwa Allah membanggakan kalian semua kepada para malaikat.’” (Diriwayatkan Muslim no. 2701)

52. Bahwasannya semua amal itu disyariatkan untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga yang dimaksud dengannya adalah dihasilkannya dzikir kepada Allah Ta’ala. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “…Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14)
Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu bahwa dia ditanya, “Amal  apakah yang paling afdhal itu?” Dia menjawab, “Dzikir kepada Allah Yang Maha Besar.”

53. Bahwasannya ahli suatu amal yang paling afdhal adalah mereka yang dalam amalnya itu paling banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Maka, sebaik-baik puasa adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala dalam puasanya. Sebaik-baik para jama’ah haji adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah. Sebaik-baik orang yang bersedekah adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla …. demikian dalam semua amal.

54. Mendawamkan dzikir mampu menggantikan berbagai ibadah tathawwu’ (ibadah sunnah). Baik yang bersifat badaniah maupun harta seperti haji tathawwu’. Hal itu ditegaskan dalam satu hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa orang-orang kafir yang turut dalam Hijrahdatang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya bisa melakukan berbagai amal yang tinggi derajatnya dan menikmati kesenangan yang terus-menerus. Mereka menunaikan shalat sebagaimana kami menunaikan shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Sedangkan mereka memiliki kelebihan harta yang bisa mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah dan berjihad?” Beliau bersabda, “Maukah kau kuajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian bisa mengejar orang yang mendahului kalian, dan orang-orang di belakang kalian akan mendahului  dengannya sehingga tiada seorang pun lebih utama dari pada kalian, kecuali orang yang melakukan apa-apa yang kalian lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Ya,  wahai rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Bertasbihlah, bertahmidlah, dan bertakbirlah setiap usai shalat…’.” (Muttafaq ‘alaih, Al-Bukhari no. 843, Muslim no. 595)

Beliau menjadikan dzikir sebagai ganti dari berbagai  ibadah yang luput dari mereka, seperti: haji, umrah,dan jihad. Beliau juga menyampaikan bahwa mereka ini akan bisa mengalahkan mereka itu dengan dzikir ini.

55. Bahwasannya dzikir kepada Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling besar yang mampu membantu seseorang untuk taat kepada-Nya. Dzikir membuat ketaatan menjadi sesuatu yang sangat dicintai seorang hamba, menjadikannya sangat mudah, sangat lezat, dan penyejuk mata baginya.

56. Bahwasannya dzikir kepada Allah Ta’ala merubah yang sulit menjadi mudah, merubah yang rumit menjadi sederhana, dan meringankan berbagai hal yang berat.

57. Bahwasannya dzikir kepada Allah Azza wa Jalla menghilangkan semua hal yang menakutkan dalam hati dan memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam pencapaian rasa nyaman. Tiada sesuatu yang paling bermanfaat bagi orang yang mengalami rasa takut yang teramat sangat  selain dzikir kepada Allah Ta’ala.

58. Bahwasannya dzikir memberi kekuatan, sehingga dia mampu melakukan apa-apa yang tidak mampu dia lakukan. Tidak kah anda melihat bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada putrinya (Fathimah) dan menantunya (Ali Radhiallahu ‘Anhuma) agar bertasbih 33 kali,bertahmid 33kali , dan bertakbir 34 kali setiap malam billa keduanya hendak tidur. Pernah  Fathimah meminta kepada beliau seorang pembantu dan mengeluhkan pekerjaannya menumbuk tepung, mengambil air, dan melakukan berbagai macam tanda bakti. Beliau mengajarkan hal itu kepadanya lalu bersabda, “Sesungguhnya itu lebih baik bagi kalian berdua dari pada seorang pembantu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 3705 dan Muslim no. 2727).

Maka dikatakan bahwa orang yang mendawamkan dzikir itu akan mendapatkan kekuatan sepanjang harinya sehingga  tidak perlu lagi pembantu.

59. Bahwasannya semua amal untuk kepentingan akhirat selalu dalam bentuk diperlombakan. Orang-orang ahli dzikir adalah mereka yang menang dalam bentuk lomba itu.

60. Banyak berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah pengaman dari kemunafikan. Maka sesungguhnya seorang munafik adalah orang yang sangat sedikit dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman tentang  orang-orang munafik, “Dan tidaklah mereka menyabut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’:142)

Ka’ab berkata, “Barangsiapa banyak berdzikir kepada Allah, maka dia akan bebas dari kemunafikan.”

               


ARSY BERBENTUK SEPERTI KUBAH

Posted by Handiyas Prabowo On 18.52


Perincian Syarah Hadits:
Hadits Jubair bin Muth’im r.a. dan lafazh konteks hadits riwayat Abu Dawud dalam Sunan nya, adalah :
                Dari  Jubair bin Muhammad bin Jubair bin Muth’im,dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata : “Seorang Arab badui datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  dan berkata, ‘Ya Rasulullah, orang-orang telah kehabisan tenaga, keluarga telah kelaparan, harta benda telah musnah, dan ternak-ternak telah binasa, mintalah hujan untuk kami. [Sesungguhnya kami menjadikanmu sebagai perantara kepada Allah] dan menjadikan Allah sebagai perantara kepadamu.’ Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Celaka kamu, apakah kamu tahu apa yang kamu katakana ?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bertasbih dan terus bertasbih sehingga hal itu terlihat pada wajah para sahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau). Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu, sesungguhnya tidak boleh menjadikan Allah sebagai perantara kepada seorangpun dari makhlukNya, kedudukan Allah lebih agung dari hal itu. Celakalah kamu, tahukah kamu siapakah Allah itu? Sesungguhnya ArsyNya di atas seluruh langitNya adalah seperti ini –beliau memberi isyarat dengan jarinya membentuk sebuah kubah-, dan sesungguhnya ia berderit karenaNya seperti pelana unta karena menahan beban penunggangnya.”
Ibnu Basysyar 1 berkata dalam haditsnya, “Sesungguhnya Allah di atas ArasyNya dan ArasyNya di atas semua langitNya.”
(1 Ini merupakan tahrif (penyelewengan nama), yang benar ialah Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Abu Bakar al-Muththalibi, maula mereka. Hal ini dinukil oleh Dr. Walid Alu Furrayyan dalam naskah Fath al-Majid yang dia tahqiq.)
[Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan menurutnya dalam Bab fi ar-Rad ‘ala al Jahmiyah, dari hadits Muhammad bin Ishaq bin Yasar”. Syaikh Furaih bin Sholeh Al Bahlal berkomentar: dengan itu dia (Al-Hafizh adz-Dzahabi) mengisyaratkan bahwa hadits ini menurut dia adalah dhoif, sebab Muhammad bin Ishaq adalah rawi mudallis (mudallis yakni perawi yang melakukan tadlis/ menyembunyikan cacat atau cela yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara zhahir). Lihat perbincangan seputar hadits ini dan syarah para ulama untuknya di Aun al-Ma’bud, 4/370.]

Halaman 1234-1237, Fath al-Majid, Bab Tidak Boleh Menjadikan Allah Sebagai Perantara Kepada MakhlukNya
(Hadits yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im r.a ini sempat dipermasalahkan  oleh sebagian kalangan, bahkan ada yang mendha’ifkannya. Berikut ini adalah takhrijnya secara lengkap. Ed.T).

Abu Dawud meriwayatkan dalam as-Sunan, 5/94, no. 4726; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, 1/252, no 575-576; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 2/129, no. 1547; Al Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, 1/175, no. 92 dan Mashabih as-Sunnah, no. 4455; Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, 1/239, no. 147; al-Baihaqi dalam al-Asma wa ash-Shifat, 2/159; ad-Daruquthni dalam ash-Shifat, hal. 52; ad-Darimi dalam ar-Rad Ala al-Jahmiyah, hal. 24; Muwaffiquddin dalam Itsbat Shifat al-Uluw, hal. 60, no. 30; Abu asy-Syaikh dalam al-‘Azhamah, 2/554, no. 198; Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid, 7/141; dan al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal, 4/505, no. 903.

Mereka meriwayatkannya dari sejumlah jalan periwayatan, dari Wahab bin Jarir bin Hazim, dia berkata, bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata, Aku telah mendengar Muhammad bin Ishaq menceritakan dari Ya’qub bin Utbah, dari Jubair bin Muhammad bin Jubair bin Mu’thim, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata…..” Seorang Arab Badui datang …”. Al-Hadits.
Yang meriwayatkannya dari Wahab bin jarir adalah sekelompok orang, diantara mereka ialah: Ahmad bin Sa’id  ar-Rubathi, Ahmad bin al-Azhar an-Naisaburi, Ali bin al-Madini, Yahya bin Ma’in, Abdul A’la bin Hammad an-Narsi juga, dan Muhammad bin Basysyar demikian.
Muhammad bin Basysyar, Abdul A’la bin Hammad an-Narsi, Muhammad bin al-Mutsanna meriwayatkannya dari Wahhab bin Jarir, bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata, Aku telah mendengar  Muhammad bin Ishaq menceritakan dari Ya’qub bin Utbah, dari Jubair bin Muhammad bin Jubair bin Mu’thim, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata…..” Seorang Arab Badui datang …”. Al-Hadits.  ………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Saya (Syaikh Furaih Al-Bahlal) berkata, “Perbedaan yang dimaksud” telah dijawab oleh Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Mizzi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang Anda lihat.
Adapun tadlis Ibnu Ishaq, maka telah dijawab oleh Ibnul Qayyim sebagaimana  yang akan disebutkan, insyaAllah.
Sedangkan mengenai status majhul Jubair bin Muhammad, maka menjadi hilang karena adanya riwayat Ya’qub bin Utbah bin al-Mughirah al-Akhnas  ats-Tsaqafi dan Hushain bin Abdurrahman as-Sulami darinya; dan mereka berdua adalah orang yang tsiqah (kredibel). Dan batas minimal yang mengangkat status majhul dari seorang rawi adalah adanya periwayatan dua orang yang masyhur, sebagaimana dinyatakan oleh an-Nawawi terdahulu. Lebih dari itu, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat, 6/148. Dan bahwasannya Ibnu Khuzaimahtelah menyatakannya sebagai seorang yang adil dengan bukti adanya periwayatan darinya; karena dia menetapkan syarat dalam mukadimah kitabnya ini (yaitu Kitab at-Tauhid, pent.), bahwa dia tidak beristidlal  kecuali dengan sesuatu yang shahih dan tsabit dengan riwayat dari ahli riwayat yang adil. Berikut ini adalah redaksi selengkapnya dari (pemimpin para imam) Ibnu Khuzaimah dalam Kitab at-Tauhid,  “… dan beriman kepada sifat-sifat ar-Rahman Yang Maha Pencipta Yang Mahaagung dan Mahatinggi, dengan sifat-sifat yang Dia sandangkan pada DiriNya di dalam al-Qur’an yang diturunkanNya, yang mana tidak dihinggapi dengan kebatilan dari depannya maupun dari belakangnya, dan (beriman) kepada sifat-sifat yang shahih dan tsabit dari Nabi kita Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , dengan sanad-sanad yang tsabit lagi shahih, yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil secara maushul kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam .”
Berdasarkan ini, maka hadits ini adalah shahih menurut Imam Ibnu Khuzaimah; karena dia menyebutkannya sebagai dalil atas ketetapan sifat al-Istiwa’ (bersemayamnya Allah di atas Arasy).
Lalu Imam al-Baghawi menempatkannya dalam hadits-hadits yang hasan.
Dan Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mensyarahnya, “Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata, ‘Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad yang hasan menurutnya dalam membantah golongan al-Jahmiyah, yaitu dari hadits Muhammad bin Ishaq bin Yasar.” (Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 520).
Imam Ibnul Qayyim membela hadits ini, maka dia menyatakannya kuat dan menjawab illat-illatnya, dan saya melihat bahwa di antara jawabannya yang paling bagus di sini adalah perkataannya, “Para ulama (yang ahli dalam mengitsbatkan riwayat) berkata, ‘Tidak ada sesuatu pun dalam hal ini yang dapat melegakan bagi kalian untuk menolak hadits ini.’
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini adalah :
Dalam hadits ini terkandung penetapan (itsbat) terhadap sifat ketinggian Allah atas makhlukNya, dan bahwa ArsyNya di atas semua langitNya.Di dalam hadits ini juga terkandung tafsir terhadap makna ‘bersemayam’ (istiwa’) dengan ketinggian (uluw), sebagaimana para sahabat, para tabi’in, dan para imam menafsirkannya. Lain halnya dengan Mu’aththilah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan orang-orang yang mengambil pendapat mereka seperti orang-orang Asy’ariyah dan semisal mereka yang melakukan ilhad dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (Keterangan : ilhad yakni sikap pengingkaran adanya Tuhan. Dan seringkali yang dimaksud dengannya adalah aliran filsafat yang mengingkari terhadap keberadaan Allah T), serta memalingkan dari makna yang sebenarnya dan yang ditunjukkannya, yaitu menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala yang menunjukkan kesempurnaanNya ‘Azza wa Jalla, seperti yang diyakini olehas-Salafus ash-Shalih, para imam, dan orang-orang yang mengikuti mereka yang berpegang teguh kepada as-Sunnah, mereka menetapkan sifat-sifat kesempurnaan yang Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dan RasulNya tetapkan untukNya sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah dengan penetapan tanpa tamtsil dan penyucian tanpa ta’thil. (Keterangan: tamtsil adalah menyamakan Allah dengan selainNya, baik dzat maupun sifat, dan sebaliknya, adapun ta’thil adalahmengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah, perbedaan ta’thil dengan tahrif adalah: bahwa ta’thil tidak mengakui makna sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari Al Qu’an atau hadits, sedangkan tahrif ialah merubah maknanya atau memberikan tafsiran yang menyimpang dari makna sebenarnya yang dikandung oleh nash tersebut.)
                Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Miftah Dar as Sa’adah setelah berbicara tentang apa yang membuat seorang hamba mengetahui dirinya dan Rabbnya dari keajaiban makhluk-makhlukNya, dia berkata,
                “Yang kedua, hendaknya hal ini sampai pada penglihatan dengan bashirah batin (bashirah yakni  pengetahuan yang mendalam), sehingga akan dibuka untuknya pintu-pintu langit, lalu dia mengembara di seluruh penjurunya, kerajaanNya, dan diantara malaikat-malaikatNya, kemudian dibukakan untuknya pintu demi pintu sehingga perjalanan hatinya sampai ke Arsy ar Rahman, lalu dia melihat kebesaranNya, keagunganNya, kemuliaanNya, kehormatanNya, dan ketinggianNya. Dia melihat langit-langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dibandingkan dengan Arsy ar Rahman seperti sebuah gelang yang diletakkan di tengah padang pasir Sahara, dia melihat para malaikat mengelilingi Arsy,sambil mengumandangkan tasbih, tahmid, taqdis dan takbir.
                Perintah turun dari atasnya untuk mengatur para hamba dan bala tentara yang jumlahnya hanya dapat diketahui oleh para pemilik dan Rabbnya, maka turunlah perintah untuk menghidupkan suatu kaum dan mematikan yang lain, memberikan kekuasaan dan mencabut kekuasaan yang lain, memindahkan nikmat dari suatu tempat ke tempat lainnya, menunaikan hajat-hajat dengan berbagai ragam, bentuk dan jumlahnya, berupa mencukupi orang yang kekurangan, membuat kaya yang fakir, menyembuhkan orang sakit, menghilangkan kesulitan, mengampuni dosa, mengangkat mudarat, menolong orang yang teraniaya, memberi petunjuk kepada orang yang bingung,  mengajari yang jahil, mengembalikan hamba sahaya yang kabur, member keamanan kepada yang takut, member perlindungan kepada yang memintanya, member kekuatan bagi yang lemah,menolong yang dalam kesusahan, membantu yang lemah, membalas yang berbuat zhalim, menahan pelanggaran.
                Inilah ketetapan yang berporos antara keadilan, karunia, hikmah dan rahmat yang menembus ke seluruh penjuru alam. Dia tidak disibukkan oleh satu pendengaran terhadap sesuatu dari yang lain, tidak dipusingkan oleh banyaknya permintaan dan hajat dengan berbagai macam bahasa, keanekaragamannya, dan dalam kesamaan waktunya, Dia tidak marah karena permintaan yang terus menerus, kekayaanNya tidak berkurang walaupun sekecil seekor semut, tidak ada Tuhan yang haq selainNya, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
                Pada saat itu, hati seorang hamba berdiri di hadapan Allah yang ar Rahman, dalam keadaan merendah karena kebesaranNya, khusyu’ karena kagunganNya, dan tunduk karena keperkasaanNya, maka dia bersujud di hadapan Maharaja yang Mahabenar yang menjelaskan segala sesuatu sesuai dengan hakikatnya yang benar, dengan sujud yang dia tidak akan mengangkat kepalanya darinya sampai Hari Kiamat. Inilah perjalanan hati, sementara dia tetap di tanah airnya, di kotanya, dan rumahnya. Ini termasuk tanda kebesaran Allah yang paling besar dan keajaiban hasil ciptaanNya. Sebuah perjalanan yang benar-benar member berkah melimpah, memberi buah dan keuntungan besar, memberi manfaat berharga dan memberi akhir yang baik, perjalanan yang merupakan kehidupan hati, kunci kebahagiaan, harta rampasan bagi akal dan pemikiran, bukan perjalanan yang merupakan salah satu bentuk azab.” Selesai ucapan Ibnul Qayyim Rahimahullah.

 Halaman 1287-1290, Kitab Fathul Majid
Perincian Syarah Hadits
                Penulis Rahimahullah menyebutkannya secara ringkas, yang tertera di Sunnan Abu Dawud  adalah dari al-Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata,
“Aku pernah berada di Bath-ha’ bersama beberapa orang , di antara mereka adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , tiba-tiba muncullah awan melewati mereka, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  melihatnya, kemudian bertanya, ‘Apa namanya menurut kalian?’ Kami menjawab, Sahab (awan).’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Ia disebut juga Muzn.’ Mereka berkata, ‘Ya, ia disebut juga Muzn.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Ia disebut juga ‘Anan.’ Mereka berkata, ‘Ya, ia disebut juga ‘Anan.’ - Abu Dawud berkata, ‘Aku tidak menghapal ‘Anan dengan baik’- Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Tahukah kalian berapa jarak antara langit dan bumi?’ Mereka menjawab, ‘Tidak tahu.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, sesungguhnya jarak di antara langit dan bumi adalah tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua atau tujuh puluh tiga tahun perjalanan, kemudian jarak antara langit dengan langit di atasnya juga demikian, -Sehingga Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  menyebutkan tujuh langit kemudian di atas langit yang ketujuh adalah lautan, jarak antara dasar dengan permukaannya sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain, kemudian di atas itu adalah delapan malaikat berwujud kambing gunung, jarak antara kuku kakinya dengan lututnya sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain, kemudian di atas punggung mereka adalah Arasy, jarak bagian bawah dengan bagian bagian atasnya adalah sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain, kemudian Allah Ta’ala di atas itu’.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, at-Tirmidzi berkata, Hasan gharib.” 
                Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Hasan.¹

[¹ Dalam sanadnya terdapat al-Walid bin Abu Tsaur, haditsnya tidak dijadikan hujah.Abu Dawud menyebutkannya dari jalan selain al-Walid. Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam Tahdzib as-Sunan, ‘Adapun menolak hadits ini karena al-Walid bin Abu Tsaur maka ia tidak diterima, karena al-Walid tidak meriwayatkannya secara sendiri, namun ia dimutaba’ah oleh Ibrahim bin Tahman, keduanya dari Simak, dan dari jalannya Abu Dawud meriwayatkan. Ia juga diriwayatkan dari Amru bin Abu Qais dari Simak, dari haditsnya at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bi Humaid, Abdurrahman bin Sa’ad  mengabarkan kepada kami, dari Amru bin Abu Qais.” Selesai.
Ia juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Hadits al-Walid bin Abu Tsaur dari Simak. Apa kesalahan dari al-Walid dalam hal ini? Kesalahannya adalah karena dia meriwayatkan hadits yang tidak sejalan dengan keyakinan Jahmiyah yaitu alasannya yang berpengaruh bagi mereka.”]

At-Tirmidzi meriwayatkan serupa dari hadits Abu Hurairah yang di dalamnya disebutkan, (Jarak antara satu langit dengan langit yang lain adalah lima ratus tahun perjalanan). Tidak ada pertentangan di antara keduanya, sebab perkiraan hal itu dengan lima ratus tahun adalah menurut perjalanan sebuah kafilah misalnya, sedangkan tujuh puluh tahun lebih menurut perjalanan dengan cepat. Bisa saja dikatakan, perjalanan dari sini ke Mesai selama dua puluh hari dengan perjalanan pada umumnya, dan hanya tiga hari dengan perjalanan kilat. Syarik meriwayatkan sebagian hadits ini dari Simak dan dia memauqufkannya.” Ini adalah akhir perkataan adz-Dzahabi. ²
[² Di dalam Qurrah al-Uyun disebutkan, “Saya katakana, Hadits ini mempunyai beberapa syahid di ash-Shahihain dan lainnya yang ditunjukkan secara jelas oleh al-Qur’an, sehingga pendapat yang menyatakan dhaif tidak dianggap. Penulis Rahimahullah memulai kitabnya yang agung in dengan menjelaskan tauhid uluhiyah, karena mayoritas umat yang hidup belakangan tidak mengetahui tauhid, bahkan mereka melakukan  syirik dan persekutuan yang menafikan tauhid. Maka Syaikh Rahimahullah menjelaskan tauhid yang didakwahkan oleh para rasul dan melarang umat dari kesyirikan mereka yang menafikan tauhid ini, serta berjihad melawan orang-orang yang menyelisihinya dari kalangan orang-orang yang menyekutukan Allah dalam beribadah kepadNya. Penulis Rahimahullah menetapkan tauhid ini sebagaimana yang pembaca lihat pad bab demi bab. Kemudian penulis menutup kitabnya dengan tauhid al Asma’ dan ash-Shifat, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai perhatian terhadap tauhid ini, sementara di sisi lain dibahas secara berlebih-lebihan oleh orang-orang yang merasa berilmu, di mana mereka mengambil dari orang-orang yang berbicara mendalam dalam ilmu-ilmu ini, mereka berbaik sangka terhadap ahli kalam, mereka mengira bahwa ahli kalam berpijak kepada kebenaran, maka mereka menerima apa yang mereka dapatkan dari ahli kalam, akibatnya mereka menetapkan madzhab Jahmiyah dan melakukan ilhad dalam Asma’ wa ash-Shifat dan menyimpang dari petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah serta keyakinan yang dipegang oleh salaf umat ini, para imam hadits dan tafsir dari kalangan para pendahulu. Ahlus Sunnah wal Jama’ah terus berpegang teguh kepadanya walaupun jumlah mereka sedikit, maka Allah memberi petunjuk kepada imam ini untuk mengetahui tauhid dengan macam-macamnya kemudian dia menetapkannya dengan didukung dalil-dalilnya. Segala puji bagi Allah atas taufikNya dan hidayahNya kepada kebenaran pada saat Islam sangat terasing, yang akibatnya tidak sedikit manusia penghuni desa-desa dan kota-kota yang tersesat dalam hal ini. Hanya kepada Allah-lah kita memohon taufik.
Di  dalam kitab ini telah terhimpun tiga macam tauhid yang telah disayaratkan oleh Allamah Ibnul Qoyyim Rahimahullah dalam ucapannya,

Ilmu ada tiga bagian, tidak ada bagian keempat.
Dan kebenaran itu sangatlah jelas.
1.Ilmu tentang sifat-sifat Allah dan perbuatanNya.
Demikian pula nama-nama bagi ar-Rahman.
2.Perintah dan larangan yang merupakan agamaNya
3.Dan balasanNya pada kehidupan yang kedua.

Dan shalawat dan salam Allah curahkan kepada penghulu para rasul dan Imam orang-orang yang bertakwa, Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya seluruhnya.]

Saya (Al Allamah Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh), Di dalam hadits ini terdapat penjelasan yang tegas bahwa Allah di atas ArsyNya, sebagaimana yang telah di sebutkan di dalam ayat-ayat muhkamat, hadits-hadits yang shahih, dan perkataan salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

                Hadits ini mempunyai beberapa syahid di dalam ash-Shahihain dan selainya, sehingga tidak ada anggapan bagi pendapat yang menyatakan dhaif, karena ia mempunyai banyak syahid yang karenanya mustahil untuk ditolak atau dipalingkan dari zahirnya.

                Hadits ini sama dengan dengan hadits lain yang serupa yakni menunjukkan keagungan Allah, kesempurnaanNya, dan kebesaran makhlukNya, dan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat sempurna yang dengannya dia menyifati diriNya di dalam kitabNya dan RasulNya menyifatiNya, bahwa kodrat Allah sempurna, dan bahwa Dia-lah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya, bukan selainNya.

                Hanya kepada Allah-lah kita memohon taufik. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga selalu tercurah Allah curahkan kepada sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya seluruhnya.

                Demikianlah, selesai sudah kitab Fath al-Majid ini dengan pertolongan Allah Yang Maha Terpuji.  




2.  Halaman 1262- 1266 dari Kitab Fathul Majid Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid Syekh Muhammad bin Abdul Wahab:  Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata “Tidaklah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh serta makhluk yang berada di dalamnya berada di Tangan Dzat Yang Maha Pengasih melainkan bagaikan sebiji sawi di tangan salah seorang di antara kalian. “ (Majmu’ al Fattawa, 16/439).
Hamad bin Atiq berkata, “Pensyarah berkata, ’Sanad ini dalam studi kritikku adalah shahih, dan yang dia maksud ialah Pensyarah Kitab at-Tauhid, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab.”
Saya (Syaikh Furaih Al-Bahlal) berkata,minimal kondisi sanadnya adalah hasan, (Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab at-Tauhid, hal 135-136).

Ibnu Jarir berkata, Yunus telah menceritakan kepadaku, Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Ibnu Zaid berkata, bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “Tidaklah langit yang tujuh (bila diletakkan) di al-Kursi, melainkan seperti tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai.”1
1(Hadits ini dipermasalahkan oleh sebagian kalangan, bahkan ada yang mendhaifkannya. Berikut ini adalah takhrijnya secara lengkap. Ed. T).
Penulis Kitab at-Tauhid berkata, “Dan Ibnu Jarir berkata, ‘Yunus telah menceritakan kepadaku, Ibnu Wahhab telah memberitakan kepada kami, dia berkata, Ibnu Zaid berkata, bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata, Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “ Tidaklah langit yang tujuh di dalam al-Kursi melainkan bagaikan tujuh keping uang dirham yang diletakkan diperisai.”
Lalu penulis berkata, “Dan Abu Dzarr r.a. berkata, Aku telah mendengar Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “Tidaklah al-Kursi itu didalam Arasy melainkan bagaikan selingkar besi yang diletakkan pada sebuah tanah lapang yang luas dari bumi.”
Ibnu Jarir meriwayatkannya dengan sanad ini dalam at-Tafsir, 13/12, no. 5795, kemudian dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam at-Tafsir, 1/293, dan juga dalam al-Bidayah, 1/13, dan tidak mengomentarinya (sakata ‘anhu).
Abu asy-Syaikh al-Ashbahani juga meriwayatkannya dalam al-‘Azhamah, 2/587, no. 220, dari jalan Ashbagh bin al-Faraj, dia berkata, Aku telah mendengar Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, dari bapaknya….
Abdurrahman ini adalah seorang yang dhaif, dan Zaid adalah seorang tabi’in, sehingga khabar ini adalah mursal  (Mursal  adalah Hadits yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya yaitu pada shahabat, sebelum tabi’in. Gambarannya adalah, apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda,”…”, atau “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  melakukan ini dan itu …”).
 Sedangkan hadits Abu Dzarr, maka dimaushulkan oleh Ibnu Mardawaih. Ibnu Katsir berkata, “Abu Bakara bin Mardawaih berkata, Sulaiman bin Ahmad telah mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Wahab al-Muqri’ telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abi al-Yasari al-Asqalani telah mengabarkan kepada kami, dari al-Qasim bin Muhammad ats-Tsaqofi, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzarr al-Ghifari , bahwasannya dia pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  tentang al-Kursi, maka Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “ Demi dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh di sisi al-Kursi, melainkan bagaikan selingkar gelang yang di atas tanah lapang yang luas, dan bahwasannya keutamaan Arasy disbanding al-Kursi itu adalah bagaikan tanah lapang yang luas dibanding selingkar gelang tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/293, dan al-Bidayah wa an-Nihayah, 1/13).
Sulaiman bin Ahmad ialah at-Thabrani, pemilik tiga kitab Mu’jam Hadits yang tiga. Dan Abdullah bin Wahab al-Muqri’ ialah Abu al-Abbas al-Judzami al-Ghazzi; disebutkan oleh al-Mizzi di dalam deretan murid-murid Muhammad bin Abu al-Yasari, dan saya tidak mendapatkan biografinya. Sedangkan gurunya Muhammad bin Abu al-Yasari, yang benar adalah as-Sari al-Asqalani. Al-Hafizh berkata dalam at-Taqrib, “ Dia seorang yang jujur tetapi memiliki kesalahan berpraduga.”
Adapun biografi Muhammad bin Abdullah at-Tamimi, maka saya tidak mendapatkannya, sedangkan al-Qasim bin Muhammad ats-Tsaqafi, maka ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat, 5/305. Kemudian Abu Idris al-Khaulani;al-Hafish berkata tentangnya dalam at-Taqrib, “ Dia dilahirkan di masa hidup Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , dan sempat mendengarkan riwayat dari para sahabat; namanya ialah: A’idz bin Abdullah.
Jalan Periwayatan lainnya:
Al-Baihaqi berkata,”Al-Hafizh Muhammad bin Abdullah mengabarkan kepada kami, Abu al-Hasan Ali bin al-Fadhl  as-Samiri di Baghdad memberitakan kepada kami, al-Hasan bin ‘Arafah al-‘Abdi telah menceritakan kepada kami, Yahya bin Sa’id as-Sa’di al-Bashri telah menceritakan kepada kami, Abdul Malik bin Juraij telah menceritakan kepada kami, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair al-Laitsi, dari Abu Dzarr r.a. ...”. Al-Hadits (Al-Asma’wa ash-Shifat, 2/148).
Al-Baihaqi berkata lagi, “Hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Yahya bin Sa’id as-Sa’di. Yahya ini dikatakan oleh Ibnu Hibban. ‘Dia adalah seorang syaikh yang meriwayatkan hadits-hadits yang terbolak-balik dari Ibnu Juraij, dan meriwayatkan ahdist-hadits yang “serupa tapi tak sama” dari orang-orang tsiqah selain Ibnu Juraij; tidaklah halal berhujjah dengannya apabila dia meriwayatkan suatu hadits sendirian.” (Al-Majruhun, Ibnu Hibban,3/129).
Al-Baihaqi berakata, “Hadits ini memiliki syahid dengan sanad yang lebih shahih. Al-Baihaqi menyebutkannya dengan sanadnya dari jalan Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya al-Ghassani, bapakku telah menceritakan kepadaku, dari kakekku, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzarr, dia berkata, “ Aku bertanya, Wahai Rosulullah, apa ayat yang paling agung yang turun kepada anda?’ Beliau menjawab,’Ayat Kursi.’kemudian beliau bersabda,’Wahai Abu Dzarr, tidaklah langit yang tujuh dibandingkan al-Kursi melainkan bagaikan selingkar gelang diletakkan d iatas tanah lapang yang luas, dan keutamaan Arasy dibandingkan al-Kursi adalah bagaikan tanah lapang yang luas dibanding selingkar gelang tersebut.” (Al-Asma’ wa ash-Shifat, 2/148).
Dan dari jalan Ibrahim bin Hisyam ini, Abu asy-Syaikh meriwayatkannya dengan lafazh mirip. (Al-Azhamah , 2/649, no.259)
Dan dengan jalur riwayat itu, Ibnu Hibban juga meriwayatkannya dalam ash-Shahih,2/76, no.361; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 1/166 dalam sebuah hadits yang panjang, dan di dalamnya disebutkan,  Saya bertanya, ‘Wahai Rosulullah, apa sesuatu yang Allah turunkan kepada Anda yang paling agung?’ Beliau menjawab,’Ayat al-Kursi’, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar tidaklah langit yang tujuh…’.”Al-Hadits.
Ibrahim bin Hisyam diaktakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Mughni fi adh-Dhua’afa’, no.201, “ Dinyatakan tsiqah oleh ath-Thabrani, tetapi dinyatakan memili kelemahan oleh Abu Hatim dan lainnya, dan bahwasannya dia adalah seorang yang tidak tsiqah.”
Saya berkata, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat, 8/79.
Dan hadits ini memiliki jalan periwayatan lain, dimana Abu Nu’aim berkata setelah meriwayatkannya, “Al-Mukhtar bin Ghassan meriwayatkannya, dari Ismail bin Salamah, dari Abu Idris.
Ali bin Zaid meriwayatkannya dari al-Qasim, dari Abu Umamah, dari Abu Dzarr.
Ubaid bin al-Hashas juga meriwayatkannya dari Abu Dzarr.
Mu’awiyah bin Shalih juga meriwayatkannya, dari Abu Abdul Malik Muhammad bin Ayyub, dari Ibnu A’idz, dari Abu Dzarr, secara panjang lebar.
Kemudian Ibnu Juraij juga meriwayatkannay, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair, dari Abu Dzarr juga secara panjang lebar.
Al-Qurthubi berkata,”Al-Ajjuri dari Abu Hatim al-Busti meriwayatkannya dalam Shahih Musnadnya, dan al-Baihaqi. Dia menyebutkan bahwa hadits ini adalah shahih.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi, 2/1086).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “ Didalam hadits Abu Dzar yang panjang dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban,  Bahwasannya Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Wahai Abu Dzarr, tidaklah langit yang tujuh dibanding al-Kursi, melainkan bagaikan selingkar gelang dilemparkan pada tanah lapang yang luas, dan keutamaan Arasy dibanding al-Kursi itu sendiri adalah bagaikan tanah lapang yang luas tersebut dibanding selingkar gelang itu tadi.”
Dan ini memiliki syahid dari Mujahid, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dalam at-Tafsir dengan sanad yang shahih darinya.” (Fath al-Bari, 13/411).
Saya berkata, Atsar Mujahid ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi juga dengan mengatakan, “Abu Nashr bin Qatadah telah mengabarkan kepada kami, Abu Manshur bin an-Nadhrawi  telah mngabarkan kepada kami, Ahmad bin Najdah telaj menceritakan kepada kami, Sa’id bin Manshur telah menceritakannya kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menceritakan kepada kami, dari al-A’masy, dari Mujahid, dia berkata, Tidakalah langit dan bumi di al-Kursi melainkan bagaikan selingkar gelang yang diletakkan pada tanah lapang yang luas.” (Al-Asma’ wa ash-Shifat, 2/149).
 Para perawinya adalah para perawi ash-Shahih.
Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkannya dalam as-Sunnah, hal.55, no.268; dan Abu asy-Syaikh al-Ashbahani dalam Al-Azhamah, 2/585, no.218, 248, 249, dari jalan: Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid, dengan hadits tersebut (Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab at-Tauhid, hal. 137-140).

Ibnu Jarir juga berkata, Abu Dzarr r.a. berkata, Aku telah mendengar Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “Tidaklah al-Kursi itu (bila diletakkan) di atas Arasy, melainkan seperti gelang  besi yang dicampakkan d itengah padang pasir.”1
Dari Ibnu Mas’ud berkata, Jarak antara langit paling bawah dengan langit di atasnya adalah lima ratus tahun (perjalanan). Jarak antara setiap langit adalah lima ratus tahun (perjalanan). Jarak antara langit ke tujuh dengan al-Kursi adalah lima ratus tahun (perjalanan). Jarak antara al-Kursi dengan samudera adalah lima ratus tahun (perjalanan). Sedangkan Arasy berada di atas samudera itu. Dan Allah berada di atas Arasy tersebut. Dan tidak ada sedikitpun amal perbuatan kalian yang samar bagi Allah.”2
Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi, dari Hammad bin Salamah, dari Ashim, dari Zirr, dari Abdullah. Dan diriwayatkan oleh al-Mas’udi dengan lafazh serupa dari Ashim, dari abu Wa’il, dari Abdullah.

1 Lihat takhrij sebelumnya.
2Diriwayatkan pula oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no.8987 (tahqiq Hamdi Abdul Majid as-Salafi), dan berkata al-Haitsami dalam al-Majma’ no. 284, “ Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan para rawinya adalah rawi-rawi as-Shahih.

Tebal Setiap Langit Adalah Jarak Perjalanan Lima Ratus Tahun (Kandungan Bab 66)
Kandungan Bab 66, dikutip dari Kitab Fathul Majid Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, halaman 1270-1272, (dilengkapi dengan kitab  takhrij hadits-hadits yang dianggap lemah sejumlah 31 hadits yang berjudul  Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Furaih bin Shalih Al-Bahlal),  Penerbit Pustaka Shahifa, Jakarta tahun 2009.
Pertama: Tafsir Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, “Padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada Hari Kiamat.”
Kedua: Bahwa ilmu-ilmu ini yang semisal dengannya masih dikenal di kalangan orang-orang Yahudi pada zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , mereka tidak mengingkari dan tidak pula menakwilkannya.
Ketiga: Ketika ulama Yahudi tersebut mengatakan ilmu ini kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau membenarkannya, dan turunlah Al-Qur’an menegaskan hal itu.
Keempat: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tertawa ketika ulama Yahudi ini menyampaikan ilmu agung ini kepada beliau.
Kelima: Hadits ini menyebutkan dengan jelas bahwa Allah mempunyai dua tangan dan bahwa langit-langit di Tangan kananNya dan bumi-bumi di TanganNya yang lain.
Keenam: Hadits ini menyatakan dengan jelas bahwa tangan yang lain ini adalah tangan kiri.
Ketujuh: Keadaan orang-orang yang bertindak sombong dan lalim pada Hari Kiamat.
Kedelapan: Ucapan Ibnu Abbas bahwa langit yang tujuh dan bumi yang tujuh di tangan ar-Rahman adalah layaknya biji sawi (khordalah-peny) di tangan seseorang.
Kesembilan: Besarnya al-Kursi dibandingkan dengan langit.
Kesepuluh: Besarnya Arasy dibandingkan dengan al-Kursi.
Kesebelas: Bahwa Arasy bukan al-Kursi dan bukan samudera.
Keduabelas: Jarak antara satu langit dengan langit yang lain.
Ketigabelas: Jarak antara langit ketujuh dengan al-Kursi.
Keempat belas: Jarak antara al-Kursi dengan samudera.
Kelima belas: Bahwa Arasy berada di atas samudera.
Keenam belas: Bahwa Allah berada di atas Arasy.
Ketujuh belas: Jarak antara langit dengan bumi.
Kedelapan belas: Tebal setiap langit adalah jarak perjalanan lima ratus tahun.
Kesembilan belas: Bahwa samudera yang ada di atas langit, antara dasar dengan permukaannya adalah jarak perjalanan lima ratus tahun. Wallahua’lam.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya seluruhnya.





Wajib mencintai Shahabat & larangan mencela mereka

Posted by Handiyas Prabowo On 18.47




“Menyelisik ALAM MALAIKAT Bagian Kedua dari Rukun Iman yang sering Disalahpahami dan Dilupakan Banyak Orang”, (Judul asli: Mu’taqad Firaqil Muslimin wal Yahuud wan Nashaaraa wal Falasifah wal Watsaniyyin fil Malaaikatil Muqarrabiin, Penulis: Syaikh Dr Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil, Penerbit: Adhwa-us Salaf-Riyadh-Arab Saudi, Cet. I 1422 H/ 2002 M), Penerbit: Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, Cet. I 1431 H/ 2010 M, halaman 172-176.

O. Laknat Allah bagi orang yang mencela para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasssallam.
            Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji dan menyanjung para Sahabat Nabi dalam al-Qur’an, serta menyebut sifat mereka yang belum pernah disebutkan untuk orang lain setelah para Nabi. Hal itu semata-mata karena keagungan kedudukan mereka di sisi Allah. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan bahwa para Sahabat ridha kepada Allah dan Allah ridha terhadap mereka. Allah pun menjelaskan kedudukan mereka kepada orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil (Ahlul Kitab).
            Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu melihat mereka ruku’ sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)

“Orang-orang yang terdahulu lagi orang-orang yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin danm Anshar dan orang-orang yang mengikuti  mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
           
            Masih banyak nash-nash al-Qur’an yang semakna dengan ayat ini; hadits pun demikian. Semua dalil tersebut sarat dengan pujian, sanjungan, dan penjelasan tentaang sifat Sahabat yang baik; serta menerangkan bahwa mencintai mereka termasuk keimanan, sedangkan membenci mereka berarti kemunafikan. Mengenai dalil diharamkannya mencela dan mencaci  Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, diantaranya adalah hadits ‘Imran bin Husain Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata  bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Sebaik-baik umatku adalah yang hidup semasa denganku (generasi Sahabat), lalu pada masa setelah masa mereka (Tabi’in), kemudian pada masa setelah masa mereka (Tabi’ut tabi’in).”
            ‘Imran berkata; “Aku tidak tahu pasti apakah Nabi menyebutkan dua atau tiga masa setelah masanya. (Beliau mengabarkan pula bahwa) akan muncul setelah kalian kaum yang menjadi saksi, padahal mereka tidak pernah menjadi saksi. Mereka berkhianat dan tidak patut diberi amanat. Mereka bernadzar, tetapi tidak memenuhi nadzarnya. Tampak pada diri mereka kegemukan.” 43
43. Al-Bukhari (III/1335, no. 3449), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”. Diriwayatkan juga oleh Muslim (IV/1964, no 2535), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”.

            Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam telah menegaskan bahwa fungsi keberadaan Sahabat adalah sebagai amanah bagi ummat manusia, sebagaiman disebutkan dalam hadits riwayat Abu Burdah dari ayahnya, ia bercerita: “Kami pernah shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Setelah itu kami berinisiatif untuk duduk-duduk (menunggu) hingga shalat ‘Isya’ bersama beliau.” Ia (Abu Burdah) melanjutkan kisahnya: “Maka kamipun duduk (menunggu).’ Tidak lama kemudian, Rasulullah menghampiri kami dan bersabda:’Kalian masih disin? Kami menjawab:’Wahai Rasulullah, seusai shalat Maghrib bersamamu, kami berinisiatif untuk menunggu  hingga kami mengerjakan shalat ‘Isya’ bersamamu.’Beliau bersabda: ‘Kalian telah berbuat kebaikan dan kalian benar.’”
            Abu Burdah berkata; “Kemudian, beliau barkali-kali mengangkat kepalanya (melihat) ke atas langit lalu bersabda:
“Bintang-bintang itu adalah amanah (penjaga) langit. Jika bintang-bintang itu hilang, maka langit akan ditimpa apa yang telah dijanjikan kepadanya. Aku adalah amanah (penjaga) bagi para Sahabatku. Apabila aku telah pergi, maka para Sahabatku akan ditimpa apa yang dijanjikan kepada mereka. Para Sahabatku adalah amanah (penjaga) bagi ummatku. Kalau Sahabatku telah pergi, niscaya umatku akan ditimpa apa yang dijanjikan kepada mereka.” 44
44. Muslim (IV/1961, no. 2531), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”.
           
            Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam orang yang mencela dan mengurangi (hak) para Sahabatnya, sebagaimana sabdanya:
“Janganlah kalian mencela Sahabat-Sahabatku! Janganlah kalian mencela Sahabat-Sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang kamu membelanjakan emas sebesar Gunung Uhud, maka sungguh ia tidak akan pernah mencapai (keimanan mereka) walaupun hanya seberat satu mudd atau separuhnya.”45
45. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (III/1343) dari Abi Sa’id al-Khudri, Muslim (no. 2540), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”.

            Dalilnya, adalah hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril lalu berkata:  ‘Sesungguhnya Aku mencintai Fulan, maka cintailah dia.’ Rasulullah melanjutkan: ‘Orang itu pun dicintai Jibril yang kemudian berseru di langit dengan berkata: ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.’ Orang itupun dicintai oleh seluruh penghuni langit hingga kemudian menjadi makhluk yang dicintai di muka bumi. Demikian pula, apabila Allah membenci seorang hamba, Dia menyuruh Jibril dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku membenci Fulan, maka bencilah dia.’ Jibril pun membencinya dan menyerukan kepada seluruh penghuni langit: ‘Sesungguhnya Allah membenci Fulan, maka bencilah dia.’ Mereka (penghuni langit) lantas membencinya hingga kemudian orang itu menjadi makhluk yang dibenci di muka bumi.” 46
46. Al Bukhari (III/1175, no. 3037) dan Muslim (IV/2030, no. 2637). Lafazh hadits tersebut milik Muslim.

            Tidak diragukan lagi bahwasannya siapa saja yang mencintai para Sahabat Radhiallahu ‘Anhuma akan memperoleh keutamaan yang terdapat dalam hadits ini. Sebaliknya, siapa saja yang membenci mereka niscaya akan dibenci oleh para Malaikat dan seluruh penghuni bumi. Kenyataan telah menjadi saksi atas kebenaran ini. Sungguh, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah.

            Dalam beberapa hadits disebutkan dengan tegas mengenai laknat para Malaikat kepada orang yang mencela Sahabat Nabi Radhiallahu ‘Anhuma, sebagaimana tertera pada riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Barang siapa mencela Sahabatku niscaya ia akan ditimpa laknat Allah, para Malaikat, dan manusia seluruhnya.” 47
47.Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (XII/142, no. 12709) dengan sanad hasan. Lihat Shahihul Jaami’ (no. 6161) dan as-Silsilah ash-Shaahihah (no.2340).

            Maka dari itu renungkanlah hukuman bagi orang yang mencela para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam supaya Anda mengetahui kejinya perbuatan tersebut. Tindakan kotor ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala butakan mata hatinya.

            Renungkanlah perkataan Abu Zar’ah ar-Razi Rahimahullah mengenai orang yang mencela Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam agar Anda mengetahui sumber pemikiran ini beserta penyebab meluasnya (fenomena ini). Ia berkata: “Apabila kalian melihat orang yang mencela salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, maka ketahuilah bahwa dia seorang zindiq. Sebab, Rasulullah bagi kami adalah benar dan al-Qur’an itu benar. Yang membawa al-Qu’an dan as-Sunnah kepada kami adalah para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Sesunnguhnya mereka hanya ingin mencela para saksi (para  Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam) dengan tujuan membatalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal, celaan itu lebih pantas ditujukan kepada mereka sendiri. Oleh sebab itu, mereka dikatakan sebagai orang-orang zindiq.” 48
48. Al-Kifaayah karya al-Khatib (no. 97).

Bacaan ketika setan membisiki kekufuran

Posted by Handiyas Prabowo On 18.39



Bacaan ketika setan membisiki kekufuran, dikutip dari buku berjudul : DZIKIR DOA & PERBUATAN PENGUSIR SETAN BERDASARKAN AL-QUR’AN & AS-SUNNA, Disertai Risalah, “Penjelasan yang Haq tentang Masuknya jin ke Dalam Diri manusia & Bantahan terhadap Orang yang mengingkarinya, karya Al -Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.” , karya Syaik Ali bin Muhammad bin Mahdi al-Qarni, Dimurajaah Oleh: Syaikh Abdullah bin Jarullah al-Jarullah, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Cetakan I, Juli 2010 M, tebal 158 halaman, halaman 31-33.
 K. Bacaan ketika setan membisiki kekufuran
[1] Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setan akan datang kepada salah seorang di antara kalian , lalu ia berkata, ‘Siapakah yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai ia berkata, ‘Siapa yang menciptakan Rabbmu (Tuhanmu)?’ Apabila bisikan-bisikan seperti itu menghampirinya, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dan hendaklah ia menyudahinya (Faidzaa balaghohu falyasta’idz billaahi walyantahi)’.”
Di sebagian jalan periwayatannya disebutkan,
“Barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dari hal itu, maka hendaklah ia berkata, ‘Aku beriman kepada Allah (Amantu billahi)’.
 Dan di sebagian jalan periwayatannya yang lain disebutkan,
“Maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku beriman kepada Allah dan para rasulNya (Amantu billahi wa rusulihi)’.” 1

1 Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab Bad al-Khalq, Bab Sifat Iblis wa Junudihi, no. 3276; Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan al-Waswasah fi al-Iman , no. 4721; an-Nasa’I dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 662; dan Ibnu Sunni, no. 625.
Dan ketahuilah, bahwasannya setan tidak memililki kekuasaan kecuali atas orang-orang kafir, adapun orang-orang yang beriman, maka setan tidak memiliki kekuasaan atas diri mereka. Setan tidak mampu menyesatkan mereka kecuali dengan cara menganggu.

[2]. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Datang beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu mereka bertanya kepada beliau, ‘Sesungguhnya kami mendapatkan dalam diri kami sesuatu (pemikiran yang sangat buruk) yang dianggap perkara besar bagi seseorang di antara kami untuk mengatakannya.’ Maka Nabi menegaskan, ‘Apakah kalian telah mendapatinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Nabi bersabda, ‘Itulah keimanan yang nyata (Dzaalika shoriihul iimaan)’.”
Dan di dalam riwayat yang lain, “Itulah keimanan yang murni (Tilka mahdhul iimaan)’.”1

1 Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab al-Iman, bab Bayan al-Waswasah fi al-Iman wa Ma Yaquuluhu Man Wajadaha, 2/512, an-Nawawi.
                Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “(Sabda Nabi), ‘Itulah keimanan yang nyata (Dzaalika shoriihul iimaan)’ dan’ Itulah keimanan yang murni (Tilka mahdhul iimaan)’, maksudnya adalah bahwa ketika kalian memandang sesuatu (pemikiran yang buruk) untuk diucapkan adalah merupakan perkara besar, maka itulah yang disebut keimanan yang nyata, karena memandang hal tersebut sebagai perkara besar, sangat takut darinya dan dari mengucapkannya, apalagi meyakininya, hal itu tidak akan terjadi kecuali pada orang-orang yang benar-benar telah sempurna keimanannya dan telah hilang keragu-raguan dan kebimbangan darinya.”2

2 Syarh shahih Muslim, karya an-Nawawi, 2/512.

Dikutip dari buku berjudul: Syarah Do’a & Dzikir Hishnul Muslim, Penulis:  Dr. Sa’id bin Wahf Al-Qahthani, Cet. I, Darul Falah, Jakarta, 2007, hal. 354-357
40. DO’A ORANG YANG TERTIMPA KERAGUAN DALAM IMAN
134. ”Berlindung (isti’adzah) kepada Allah.” (Isti’adzah adalah mengucapkan a’udzu billahi minasy syaithonirrajiim-red.)
                “Berhenti dari keraguannya.”  (Muttafaq ‘alaih) 268

268 Dua buah alinea di atas berada dalam satu buah hadits yang ditakhrij Al-Bukhari, dalam Fathul Bari,
(6/336), no. 3276; dan Muslim (1/20), no. 134 dan 214.
Perawi hadits ini adalah Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
135. “Dia berkata, ‘Aamantu Billaahi wa rusulihi – Aku beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya.” (Diriwayatkan muslim) 269

269 Muslim, (1/119-120), no. 134 dan 212.

Perawi hadits ini adalah Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
                Seutuhnya hadits ini adalah sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Syetan datang kepada salah seorang di antara kalian , lalu ia berkata, ‘Siapakah yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai ia berkata, ‘Siapa yang menciptakan Rabbmu (Tuhanmu)?’ Apabila bisikan-bisikan seperti itu menghampirinya, maka hendaklah ia mengucapkan isti’adzah (memohon perlindungan kepada Allah) dan hendaklah ia menyudahinya (berhenti dari keraguannya) (Faidzaa balaghohu falyasta’idz billaahi walyantahi)’.” 
                Dalam hadits lain beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Teruslah manusia bertanya-tanya hingga dikatakan: Allah telah menciptakan makhluk ini lalu siapakah yang menciptakan Allah?  Maka siapa saja yang menemukan hal yang demikian, sekalipun sedikithendaknya mengatakan, ‘Aku beriman kepada Allah’ dalam suatu riwayat, ‘dan para Rasul-Nya’.”
                Artinya: Berpaling dari pemikiran yang bathil itu dan segera berlindung kepada Allah Ta’ala untuk mengusirnya. Dan hendaknya seseorang segera memutuskannya dan menyibukkan diri dengan hal selain itu.
Al –Marizi rahimahullah berkata, “Apa-apa yang dikatakan atas makna ini adalah bahwa sesuatu yang timbul dalam hati/pikiran ada dua macam: (1) sesuatu yang timbul dalam hati/pikiran yang tidak tetap dan tidak pula dimasuki syubhat (keraguan) yang datang dengan tiba-tiba, maka hal itu dilawan dengan berpaling darinya, atas hal demikian ini hadits di atas digunakan, dan yang serupa dengan itu dilontarkan istilah bisikan buruk. Sehingga seolah-olah perkara yang terlintas itu tanpa dasar dan tanpa peninjauan yang harus dikembalikan kepada dalil. Karena tiada dasar yang menjadi acuan peninjauannya. (2) sesuatu yang timbul dalam hati/pikiran yang tetap yang ditetapkan adanya syubhat, maka hal itu tidak dilawan melainkan dengan analisa dalil dan peninjauan untuk membatalkannya. Wallahu A’lam.
136. “Beliau membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dialah Yang Awal dan Dialah Yang Akhir, Dialah Yang Nyata dan Dialah Yang Tersembunyi; dan Dia mengetahui terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid:3) (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)270

270 Abu Dawud, (4/329), no. 5110; dan dihasankan Al-Albani dalam kitab Shahih Abu Dawud, (3/962).
                Ini adalah atsar yang datang dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhma.
                Di bagian awalnya disebutkan,
“Abu Zumail, yaitu Sammak bin Al-Walid – salah seorang dari kalangan tabi’in – berkata, ‘Kukatakan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhma, ‘Apakah gerangan sesuatu yang aku temukan dalam diriku – dia maksudkan suatu keraguan?’ Maka dia berkata, ‘Jika engkau temukan hal seperti itu dalam dirimu, maka katakanlah …’.”
                Ungkapan maa syaiun ajiduhu ‘apakah gerangan sesuatu yang kutemukan’, dengan kata lain, sesuatu yang kutemukan. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menafsirkan empat buah nama dalam ayat dengan sabdanya Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “Ya Allah Engkau Yang Mula, maka  tiada sesuatu apapun sebelum-Mu. Engkau Yang Akhir, maka tiada sesuatu apapun setelah-Mu, Engkau Yang Lahir , maka tiada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau Yang Batin, maka tiada sesuatu apapun di bawah-Mu”(Diriwayatkan oleh Muslim no.2713)  (QS. Al-Hadid:3)
                Nama-nama ini mencakup makna jangkauan liputan yang mutlak, baik menurut waktu di awal dan akhir, atau tempat dalam lahir dan batin.
                Dan telah berlalu syarahnya. Lihat hadits no. 108

Dikutip dari buku berjudul: “Ensiklopedia Dzikir & Doa Al-Imam An-Nawawi (Al-Adzkar An-Nawawi), Takhrij, Tahqiq, dan Komentar oleh: Syaikh Amir bin Ali Yasin, Cetakan II, PUSTAKA SHAHIFA, Jakarta, Juli 2008 M, 831 halaman, hal. 299-300, 304-307
BAB APA YANG DIUCAPKAN JIKA SETAN DATANG ATAU TAKUT KEPADANYA
                Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Fushilat: 36)1
                        Hendaknya ia membaca ta’awwudz, kemudian membaca al-Qur’an yang mudah dibacanya.
1 Yakni, apa pun was-was yang dimasukkan oleh setan ke dalam hatimu, maka mohonlah  perlindungan kepada Allah; karena Dia-lah yang mendengarmu dan mengetahui apa yang dimasukkan setan dalam hatimu serta apa yang hilang dengannya.
                {390} Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim2 dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bangkit untuk mengerjakan shalat, (di dalam sholat) kami mendengarnya mengucapkan, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu (A’uudzubillaahi min ka).’ Kemudian beliau mengucapkan, ‘Aku melaknatmu dengan laknat Allah (Al ‘anuka bila’natillaah),’ sebanyak tiga kali, seraya ,membentangkan tangannya seakan-akan mengambil sesuatu. Ketika selesai dari shalat, kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami mendengarmu mengucapkan sesuatu dalam shalat yang belum pernah kami mendengarmu mengucapkan demikian sebelumnya, dan kami melihatmu membentangkan tanganmu?!’ Beliau menjawab,’Sesungguhnya musuh Allah, Iblis datang dengan membawa suluh api untuk diletakkan di mukaku, maka aku mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ sebanyak tiga kali. Kemudian aku katakan, ‘Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna (Al ‘anuka bila’natillaahit taammah),’ Maka iapun mundur sebanyak tiga kali. Kemudian aku hendak menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan karena doa saudaraku, Sulaiman3, niscaya ia sudah dalam keadaan terikat yang akan menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah’.”
2 Kitab al-Masajid, Bab Jawaz la’n asy-Syaithan, 1/385, no. 542
3 Doa Sulaiman ialah ucapannya, “Ya Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahapemberi,” (QS. Shad: 35) Artinya, beliau Sholallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa beliau tidak akan dapat mengalahkannya. Sebab ini kekususan untuk Sulaiman ‘Alaihisalam , karena Allah telah mengabulkan doanya. Konon beliau meninggalkannya, karena etika dan ketawadhu’an. Pendapat pertamalah yang lebih utama. Wallahu a’lam.
                Saya (Al-Imam An-Nawawi) katakan, yang Hendaklah ia beradzan seperti adzan untuk sholat. Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Suhail bin Abi Shalih bahwa ia mengatakan,”Ayahku mengirimku ke Bani Haritsah, dan aku bersama seorang sahayaku (atau sahabat kami), lalu seorang penyeru dari kebun kurma menyerunya dengan namanya. Lalu orang yang bersamaku mendekati dan memeriksa kebun itu, namun tidak melihat sesuatu pun. Ketika kembali, aku menceritakan hal itu kepada ayahku, maka ia mengatakan, ’Sekiranya aku tahu bahwa engkau bertemu hal ini, maka aku tidak akan mengirimmu. Tetapi jika engkau mendengar suara, maka beradzanlah. Karena aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: ‘Sesungguhnya setanketika adzan diserukan, maka ia mundur’.”1
1  Muslim meriwayatkan sendirian, Kitab Ash-Shalah, Bab Fadhl al-Adzan,1/291, no.389, mengenai kisah ini. Adapun pokok hadits ini, maka diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, Kitab al-Adzan, Bab Fadhl at-Ta’dzin,2/84, no. 608.
BAB DOA YANG DIUCAPKAN OLEH ORANG YANG MENGALAMI WAS-WAS
                Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Fushilat: 36)4
4 Telah disebutkan maknanya.
                Sebaik-baik yang diucapkan ialah apa yang diajarkan Allah kepada kita dan yang diperintahkan kepada kita untuk mengucapkannya.
                {403}  Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim3, dari Utsman bin Abi al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, setan menghalangi antara aku dengan sholatku dan bacaanku dengan mengacaukannya.’ Maka Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Itulah setan yang disebut Khanzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah darinya, dan tiuplah sebanyak tiga kali ke sebelah kirimu.’ Aku pun melakukan hal itu, lalu Allah mengusirnya dariku’.”
3 Kitab as-Salam, Bab at-Ta’awwudz min syaithan al-Waswasah, 4/1728, no. 2203
              {404}  Kami meriwayatkan dalam Sunan abu Dawud dengan sanad bagus (jayyid) dari Abu Zumail, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apakah sesuatu yang aku dapati dalam dadaku?’ Ia balik bertanya kepadaku, ‘Apakah itu?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan mengatakannya.’ Ia bertanya kepadaku, ‘Apakah suatu keraguan? (A syaiun min syakkin?)’ Ia tertawa seraya mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang bisa selamat darinya, sehingga Allah menurunkan ayat,”Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyailah orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sungguh kebenaran telah datang kepadamu dari Rabb-mu, karena itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Yunus: 94).
(Tafsir Al-Kalam dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: “Fa ing kuηta (maka jika kamu), hai Muhammad.Fī syakkim mimmā aηzalnā ilaika (berada dalam keraguan terhadap apa yang Kami Turunkan kepadamu), yakni terhadap al-Quran yang Kami Turunkan melalui Jibril a.s..Fas-alil ladzīna yaqra-ūnal kitāba (maka tanyailah orang-orang yang membaca kitab) Taurat.Ming qablika (sebelum kamu), yaitu ‘Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Akan tetapi Nabi saw. tidak menanyakan hal tersebut, sebab beliau sudah tidak meragukannya lagi. Yang menjadi Sasaran Allah Ta‘ala hanyalah pernyataan (keraguan) kaumnya. Laqad jā-aka (sungguh telah datang kepadamu), hai Muhammad. Al-haqqu mir rabbika (kebenaran dari Rabb-mu), yakni al-Quran yang dibawa Jibril a.s. dari Rabb-mu dan berisi informasi tentang orang-orang terdahulu. Fa lā takūnanna minal mumtarīn (karena itu, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu), yakni orang-orang yang sangsi. Maka jika kamu berada dalam keraguan terhadap apa yang Kami Turunkan kepadamu, maka tanyailah orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sungguh kebenaran telah datang kepadamu dari Rabb-mu, karena itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Fa ing kuηta (maka jika kamu), hai Muhammad. Fī syakkim mimmā aηzalnā ilaika (berada dalam keraguan terhadap apa yang Kami Turunkan kepadamu), yakni terhadap al-Quran yang Kami Turunkan melalui Jibril a.s.. Fas-alil ladzīna yaqra-ūnal kitāba (maka tanyailah orang-orang yang membaca kitab) Taurat. Ming qablika (sebelum kamu), yaitu ‘Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Akan tetapi Nabi saw. tidak menanyakan hal tersebut, sebab beliau sudah tidak meragukannya lagi. Yang menjadi Sasaran Allah Ta‘ala hanyalah pernyataan (keraguan) kaumnya. Laqad jā-aka (sungguh telah datang kepadamu), hai Muhammad. Al-haqqu mir rabbika (kebenaran dari Rabb-mu), yakni al-Quran yang dibawa Jibril a.s. dari Rabb-mu dan berisi informasi tentang orang-orang terdahulu. Fa lā takūnanna minal mumtarīn (karena itu, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu), yakni orang-orang yang sangsi.”)(QS Yunus: 94). “ Lalu ia(Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu) mengatakan kepadaku, ‘Jika engkau mendapati sesuatu (keraguan) dalam dirimu, maka ucapkanlah, ‘Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Huwal awwalu Wal ākhiru.Wazh zhāhiru. Wal bāthinu. Wa huwa bi kulli syai-in ‘alīm )’.” (QS. Al-Hadid: 3).1 (Tafsir Al-Kalam dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Dia-lah yang awal dan yang akhir serta yang zhahir dan yang bathin. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Huwal awwalu (Dia-lah yang awal) sebelum segala sesuatu. Wal ākhiru (dan yang akhir) sesudah segala sesuatu. Wazh zhāhiru (serta yang zhahir), yakni yang menguasai segala sesuatu. Wal bāthinu (dan yang bathin), yakni yang mengetahui hakikat segala sesuatu.Wa huwa bi kulli syai-in ‘alīm (dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu). Maksudnya, huwal awwalu (Dia-lah yang awal), yakni yang hidup abadi dan azali. Dia ada sebelum segala sesuatu hidup dan yang menghidupkan segala sesuatu; wal ākhiru (dan yang akhir), yakni Dia-lah yang hidup kekal dan langgeng. Dia ada sesudah segala sesuatu yang hidup Dimatikan-Nya; wazh zhāhiru (yang zhahir), yakni yang menguasai segala sesuatu; wal bāthinu (dan yang bathin), yakni yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Menurut pendapat yang lain, huwal awwalu (Dia-lah yang awal), yakni Dia-lah Yang Maha Terdahulu tanpa sesuatu pun yang mendahului; wal ākhiru (dan yang akhir), yakni Dia-lah yang kekal tanpa bantuan sesuatu pun yang membuat-Nya kekal; wazh zhāhiru (yang zhahir), yakni yang menguasai segala sesuatu tanpa sesuatu pun yang menguasai-Nya; wal bāthinu (dan yang bathin), yakni yang mengetahui hakikat segala yang tampak dan tersembunyi, tanpa sesuatu pun yang memberi tahu-Nya. Menurut pendapat yang lain, huwal awwalu (Dia-lah yang awal) sebelum segala yang awal, tanpa titik permulaan; wal ākhiru (dan yang akhir) setelah segala yang akhir, tanpa batas kesudahan. Dan ada pula yang berpendapat, huwal awwalu (Dia-lah yang awal), yakni yang mengawalkan segala yang awal; wal ākhiru (dan yang akhir), yakni yang mengakhirkan segala yang akhir. Dia ada sebelum segala sesuatu Dia Ciptakan, dan senantiasa ada setelah segala sesuatu Dia Binasakan. Dia-lah yang hidup kekal dan abadi, tanpa mengalami kematian, kebinasaan, dan kesirnaan. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu yang awal, yang akhir, yang tampak, dan yang tersembunyi.)  (QS. Al-Hadid: 3).1
Tahqiq dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali (murid senior dari Syaikh al-Abani rahimakumullah) dalam kitabnya Shahih Kitaab al-Adzkar wa Dha’iifuhu, no.267. Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 5110). Saya (Syaikh Salim al-Hilali) katakan: (Sanadnya jayyid (baik) sebagiamana yang dikatakan penulis (Al-Imam an-Nawawi).
Takhrij, tahqiq dan komentar dari Syaikh Amir bin Ali Yasin: Syadz: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab Rad al-Waswasah, 2/750, no 5110; Ibnu Abi Hatim dalam at-Tafsir, no. 10582; dari an-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi, Ikrimah bin Ammar menceritakan kepada kami, Abu Zumail menceritakan kepadaku dengan hadits tersebut.
Ini adalah yang la ba tsa bihi (tidak mengapa), tetapi akan timbul anggapan bahwa keraguan pernah merasuk dalam hati Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, dan tentu saja ini tidak patut. Karena itu, al-Asqalani berkata dalam Amali al-Adzkar 4/34 –Futuhat, “Para perawinya bisa dipercaya, yang dipakai oleh Muslim, tetapi Ikrimah diperbincangkan, sedangkan Nadhr bin Muhammad perawi hadits ini meriwayatkan dari Ikrimah yang banyak meriwayatkan sendirian, dan ini adalah matan yang syadz. Telah tsabit dari Ibnu Abbas, dari riwayat Sa’id bin Jubair dan dari riwayat Mujahid serta yang lainnya; Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah ragu dan tidak pernah bertanya.’ Hadits ini diriwayatkan oleh Abd bin Humaid, ath-Thabrani, dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad-sanad yang shahih. Disebutkan pula dari jalur yang lain secara marfu’.”
Adapun al-Albani merasa cukup dalam Shahih Abi Dawud memberi penilaian dengan hasan sanadnya. Yakni, ia tidak meluangkan waktu untuk mengkaji hadits dengan sebenarnya, sehingga ia cukup menilai sanad yang ada di hadapannya. Dan seperti diketahui bahwa ini tidak menunjukkan kehasanan hadits. Wallahu a’lam.

              Kami meriwayatkan dengan sanad kami yang shahih dalam Risalah al-Ustadz Abi al-Qasim al-Qusyairi rahimakumullah dari Ahmad bin Atha’ ar-Rudzabari 2, seorang sayyid yang mulia, ia mengatakan, “Aku memiliki keraguan dalam perkara bersuci, dan dadaku terasa sempit pada malam hari, karena banyaknya air yang aku guyurkan sementara hatiku belum juga tentram, lalu aku berucap, ‘Wahai Rabbku! AmpunanMu, ampunanMu.’ Maka aku dengar suara berbisik mengatakan, ‘Ampunan terletak dalam ilmumu.’ Maka lenyaplah hal itu dariku.”
2 Ahmad bin Atha’ ialah orang arif, zahid, syaikh shufiyah, meriwayatkan sejumlah hadits namun melakukan kesalahan yang sangat parah di dalam meriwayatkannya. Meninggal di Shur tahun 269 H. Biografinya disebutkan dalam Hilyah al-Auliya’ 10/383 dan A’lam an-Nubala’ 16/227.
              Sebagian ulama mengatakan, “Dianjurkan mengucapkan laa ilaha illallah bagi siapa yang diuji dengan was-was dalam wudhu, shalat atau sejenisnya, sebab jika setan mendengar dzikir, maka ia mundur dan menjauh, sedangkan laa ilaha illallah adalah pokok dzikir.”
              Oleh karena itu para tokoh mulia dari kalangan terpilih dari umat ini, yang mendidik dan membimbing para penuntut ilmu, memilih ucapan laa ilaha illallah untuk ahlul khalwah (kaum yang suka berkhalwat) dan memerintahkan kepada mereka agar melakukannya secara berkesinambungan. Menurut mereka, obat yang paling manjur untuk mengusir penyakit was-was ialah memperbanyak berdzikir kepada Allah.1
1 Terus menerus bergadang, berdzikir dan berkholwat berdasarkan metode Shufiyah adalah sarana yang paling ampuh untuk mendatangkan was-was, keraguan dan halusinasi dari setan, bukan untuk mengusirnya. Seandainya Anda mempergunakan akal dan memperhatikan berbagai pernyataan dan perbuatan mereka, niscaya nampak kepada Anda dengan jelas tanpa diragukan lagi. Beruntunglah bagi siapa yang menjadikan petunjuk Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai petunjuknya, menconto Sunnahnya, dan tidak terpedaya dengan “konon kabarnya”.
As-Sayyid al-Jalil Ahmad bin Ahmad bin Abi al-Hawari 2 rahimakumullah mengatakan,”Aku mengaduh kepada Abu Sulaiman ad-Darani tentang was-was, maka ia mengatakan kepadaku, ‘Jika engkau ingin was-was itu terputus darimu, maka setiap waktu engkau merasakannya, gembiralah. Sebab jika engkau gembira dengannya, niscaya itu terputus darimu. Karena tidak sesuatu yang lebih dibenci setan daripada kegembiraan seorang mukmin. Jika engkau bersedih terhadapnya, maka ia menambahkan (was-was itu) kepadamu’.”3
2 Syaikh, ahli ibadah dan zuhud, banyak beribadah, yaitu Ibnu Abdilaah bin Maimun ad-Dimasqi, salah seorang tokoh. Dilahirkan pada tahun 164 H. Dan meninggal pada tahun 246 H. Biografinya disebutkan dalam al-Hilyah (10/5) dan A’lam an-Nubala’ 12/85.
3 Sungguh, ini adalah ilustrasi yang mengherankan. Tidakkah setan bergembira ketika seorang muslim bergembira tatkala terjerumus dan menuruti syahwatnya, sementara ia bermaksiat kepada Rabbnya?! Tidakkah setan bersedih ketika seorang mukmin bersedih dan berduka karena lalai di sisi Allah?
              Aku katakan, “Ini salah satu yang mendukung pernyataan sebagian imam bahwa was-was hanyalah diujikan kepada orang yang sempurna imannya, karena maling tidak akan menuju rumah yang rusak.”4 Wallahu a’lam.
4 Bahkan orang yang ditimpa hal itu adalah orang yang lemah akalnya, sedikit ilmunya, dan berpaling dari Sunnah Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam. Janganlah membuatmu takut bahwa sebagian sahabat telah ditimpa hal ini. Sebab ia hanyalah datang kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam untuk mencari ilmu dan Sunnah untuk mengusir was-was darinya. Allah telah menganugerahkan ilmu dan ittiba’ Sunnah sehingga dapat mengusir keraguan tersebut dari dirinya.