.
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Salam The KingAnda Bisa Menunda Untuk Berubah Karena Banyaknya Urusan. Tapi Hidup Tidak Pernah Menunda Urusannya Untuk Menunggu Anda Berubah. Sebuah rencana yang hebat dapat gagal hanya karena kurangnya kesabaran. ....
  • Salam The King: Jika anda tidak pernah merasakan kegagalan, itu artinya anda belum mengetahui artinya sebuah keberhasilan. ...
  • Salam The King: :Daripada Mengeluh Mawar bertangkai penuh duri, Lebih baik bergembira bahwa tangkai berduri itu berbunga mawar ...
  • Salam The King: Dunia ini ibarat sebuah lautan yang luas, dan kita adalah kapal yang berlayar dilautan yang telah banyak kapal karam didalamnya. Namun andai muatan kapal kita adalah iman,dan layarnya adalah takwa, yakinlah bahwa kita tidak akan pernah tersesat dilautan kehidupan itu. ...
  • Salam The King: :Jangan biarkan cintamu dalam ketakutan, percayalah bahwa akhirnya kamu dan dia akan hidup bersama. Saling percaya dan setia....
  • Kenangan Semasa SMK

    Sugeng rawuh/selamat datang di my Blogger,dapatkan informasi menarik setiap bulannya....

  • CAR FREE DAY Kota Klaten Bersinar

    Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain walau terkadang qt sllu mrasa di rugikan, jangan berhenti,sebelum Allah benar-benar memberhentikan langkah dan hidup qt. Jangan gampang menyerah selagi msih bs brnafas dan msh kuat berdiri. ..

  • Foto Ijazah,keren kan :p

    Hallo,apa kabar rekan pengunjung blogger,semooga sehat-sehat semua,, semoga info yang saya update bermanfaat untuk kita semua.amin....

  • TEKNIK KOMPUTER dan JARINGAN.

    Selamat membaca-baca isi blog sederhana saya semoga sempat berkunjung kembali:) ...

visitor

free counters

Jam

Minggu, 15 Juli 2012

ARSY BERBENTUK SEPERTI KUBAH

Posted by Handiyas Prabowo On 18.52 No comments


Perincian Syarah Hadits:
Hadits Jubair bin Muth’im r.a. dan lafazh konteks hadits riwayat Abu Dawud dalam Sunan nya, adalah :
                Dari  Jubair bin Muhammad bin Jubair bin Muth’im,dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata : “Seorang Arab badui datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  dan berkata, ‘Ya Rasulullah, orang-orang telah kehabisan tenaga, keluarga telah kelaparan, harta benda telah musnah, dan ternak-ternak telah binasa, mintalah hujan untuk kami. [Sesungguhnya kami menjadikanmu sebagai perantara kepada Allah] dan menjadikan Allah sebagai perantara kepadamu.’ Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Celaka kamu, apakah kamu tahu apa yang kamu katakana ?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bertasbih dan terus bertasbih sehingga hal itu terlihat pada wajah para sahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau). Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu, sesungguhnya tidak boleh menjadikan Allah sebagai perantara kepada seorangpun dari makhlukNya, kedudukan Allah lebih agung dari hal itu. Celakalah kamu, tahukah kamu siapakah Allah itu? Sesungguhnya ArsyNya di atas seluruh langitNya adalah seperti ini –beliau memberi isyarat dengan jarinya membentuk sebuah kubah-, dan sesungguhnya ia berderit karenaNya seperti pelana unta karena menahan beban penunggangnya.”
Ibnu Basysyar 1 berkata dalam haditsnya, “Sesungguhnya Allah di atas ArasyNya dan ArasyNya di atas semua langitNya.”
(1 Ini merupakan tahrif (penyelewengan nama), yang benar ialah Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Abu Bakar al-Muththalibi, maula mereka. Hal ini dinukil oleh Dr. Walid Alu Furrayyan dalam naskah Fath al-Majid yang dia tahqiq.)
[Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan menurutnya dalam Bab fi ar-Rad ‘ala al Jahmiyah, dari hadits Muhammad bin Ishaq bin Yasar”. Syaikh Furaih bin Sholeh Al Bahlal berkomentar: dengan itu dia (Al-Hafizh adz-Dzahabi) mengisyaratkan bahwa hadits ini menurut dia adalah dhoif, sebab Muhammad bin Ishaq adalah rawi mudallis (mudallis yakni perawi yang melakukan tadlis/ menyembunyikan cacat atau cela yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara zhahir). Lihat perbincangan seputar hadits ini dan syarah para ulama untuknya di Aun al-Ma’bud, 4/370.]

Halaman 1234-1237, Fath al-Majid, Bab Tidak Boleh Menjadikan Allah Sebagai Perantara Kepada MakhlukNya
(Hadits yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im r.a ini sempat dipermasalahkan  oleh sebagian kalangan, bahkan ada yang mendha’ifkannya. Berikut ini adalah takhrijnya secara lengkap. Ed.T).

Abu Dawud meriwayatkan dalam as-Sunan, 5/94, no. 4726; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, 1/252, no 575-576; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 2/129, no. 1547; Al Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, 1/175, no. 92 dan Mashabih as-Sunnah, no. 4455; Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, 1/239, no. 147; al-Baihaqi dalam al-Asma wa ash-Shifat, 2/159; ad-Daruquthni dalam ash-Shifat, hal. 52; ad-Darimi dalam ar-Rad Ala al-Jahmiyah, hal. 24; Muwaffiquddin dalam Itsbat Shifat al-Uluw, hal. 60, no. 30; Abu asy-Syaikh dalam al-‘Azhamah, 2/554, no. 198; Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid, 7/141; dan al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal, 4/505, no. 903.

Mereka meriwayatkannya dari sejumlah jalan periwayatan, dari Wahab bin Jarir bin Hazim, dia berkata, bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata, Aku telah mendengar Muhammad bin Ishaq menceritakan dari Ya’qub bin Utbah, dari Jubair bin Muhammad bin Jubair bin Mu’thim, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata…..” Seorang Arab Badui datang …”. Al-Hadits.
Yang meriwayatkannya dari Wahab bin jarir adalah sekelompok orang, diantara mereka ialah: Ahmad bin Sa’id  ar-Rubathi, Ahmad bin al-Azhar an-Naisaburi, Ali bin al-Madini, Yahya bin Ma’in, Abdul A’la bin Hammad an-Narsi juga, dan Muhammad bin Basysyar demikian.
Muhammad bin Basysyar, Abdul A’la bin Hammad an-Narsi, Muhammad bin al-Mutsanna meriwayatkannya dari Wahhab bin Jarir, bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata, Aku telah mendengar  Muhammad bin Ishaq menceritakan dari Ya’qub bin Utbah, dari Jubair bin Muhammad bin Jubair bin Mu’thim, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata…..” Seorang Arab Badui datang …”. Al-Hadits.  ………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Saya (Syaikh Furaih Al-Bahlal) berkata, “Perbedaan yang dimaksud” telah dijawab oleh Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Mizzi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang Anda lihat.
Adapun tadlis Ibnu Ishaq, maka telah dijawab oleh Ibnul Qayyim sebagaimana  yang akan disebutkan, insyaAllah.
Sedangkan mengenai status majhul Jubair bin Muhammad, maka menjadi hilang karena adanya riwayat Ya’qub bin Utbah bin al-Mughirah al-Akhnas  ats-Tsaqafi dan Hushain bin Abdurrahman as-Sulami darinya; dan mereka berdua adalah orang yang tsiqah (kredibel). Dan batas minimal yang mengangkat status majhul dari seorang rawi adalah adanya periwayatan dua orang yang masyhur, sebagaimana dinyatakan oleh an-Nawawi terdahulu. Lebih dari itu, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat, 6/148. Dan bahwasannya Ibnu Khuzaimahtelah menyatakannya sebagai seorang yang adil dengan bukti adanya periwayatan darinya; karena dia menetapkan syarat dalam mukadimah kitabnya ini (yaitu Kitab at-Tauhid, pent.), bahwa dia tidak beristidlal  kecuali dengan sesuatu yang shahih dan tsabit dengan riwayat dari ahli riwayat yang adil. Berikut ini adalah redaksi selengkapnya dari (pemimpin para imam) Ibnu Khuzaimah dalam Kitab at-Tauhid,  “… dan beriman kepada sifat-sifat ar-Rahman Yang Maha Pencipta Yang Mahaagung dan Mahatinggi, dengan sifat-sifat yang Dia sandangkan pada DiriNya di dalam al-Qur’an yang diturunkanNya, yang mana tidak dihinggapi dengan kebatilan dari depannya maupun dari belakangnya, dan (beriman) kepada sifat-sifat yang shahih dan tsabit dari Nabi kita Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , dengan sanad-sanad yang tsabit lagi shahih, yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil secara maushul kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam .”
Berdasarkan ini, maka hadits ini adalah shahih menurut Imam Ibnu Khuzaimah; karena dia menyebutkannya sebagai dalil atas ketetapan sifat al-Istiwa’ (bersemayamnya Allah di atas Arasy).
Lalu Imam al-Baghawi menempatkannya dalam hadits-hadits yang hasan.
Dan Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mensyarahnya, “Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata, ‘Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad yang hasan menurutnya dalam membantah golongan al-Jahmiyah, yaitu dari hadits Muhammad bin Ishaq bin Yasar.” (Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 520).
Imam Ibnul Qayyim membela hadits ini, maka dia menyatakannya kuat dan menjawab illat-illatnya, dan saya melihat bahwa di antara jawabannya yang paling bagus di sini adalah perkataannya, “Para ulama (yang ahli dalam mengitsbatkan riwayat) berkata, ‘Tidak ada sesuatu pun dalam hal ini yang dapat melegakan bagi kalian untuk menolak hadits ini.’
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini adalah :
Dalam hadits ini terkandung penetapan (itsbat) terhadap sifat ketinggian Allah atas makhlukNya, dan bahwa ArsyNya di atas semua langitNya.Di dalam hadits ini juga terkandung tafsir terhadap makna ‘bersemayam’ (istiwa’) dengan ketinggian (uluw), sebagaimana para sahabat, para tabi’in, dan para imam menafsirkannya. Lain halnya dengan Mu’aththilah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan orang-orang yang mengambil pendapat mereka seperti orang-orang Asy’ariyah dan semisal mereka yang melakukan ilhad dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (Keterangan : ilhad yakni sikap pengingkaran adanya Tuhan. Dan seringkali yang dimaksud dengannya adalah aliran filsafat yang mengingkari terhadap keberadaan Allah T), serta memalingkan dari makna yang sebenarnya dan yang ditunjukkannya, yaitu menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala yang menunjukkan kesempurnaanNya ‘Azza wa Jalla, seperti yang diyakini olehas-Salafus ash-Shalih, para imam, dan orang-orang yang mengikuti mereka yang berpegang teguh kepada as-Sunnah, mereka menetapkan sifat-sifat kesempurnaan yang Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dan RasulNya tetapkan untukNya sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah dengan penetapan tanpa tamtsil dan penyucian tanpa ta’thil. (Keterangan: tamtsil adalah menyamakan Allah dengan selainNya, baik dzat maupun sifat, dan sebaliknya, adapun ta’thil adalahmengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah, perbedaan ta’thil dengan tahrif adalah: bahwa ta’thil tidak mengakui makna sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari Al Qu’an atau hadits, sedangkan tahrif ialah merubah maknanya atau memberikan tafsiran yang menyimpang dari makna sebenarnya yang dikandung oleh nash tersebut.)
                Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Miftah Dar as Sa’adah setelah berbicara tentang apa yang membuat seorang hamba mengetahui dirinya dan Rabbnya dari keajaiban makhluk-makhlukNya, dia berkata,
                “Yang kedua, hendaknya hal ini sampai pada penglihatan dengan bashirah batin (bashirah yakni  pengetahuan yang mendalam), sehingga akan dibuka untuknya pintu-pintu langit, lalu dia mengembara di seluruh penjurunya, kerajaanNya, dan diantara malaikat-malaikatNya, kemudian dibukakan untuknya pintu demi pintu sehingga perjalanan hatinya sampai ke Arsy ar Rahman, lalu dia melihat kebesaranNya, keagunganNya, kemuliaanNya, kehormatanNya, dan ketinggianNya. Dia melihat langit-langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dibandingkan dengan Arsy ar Rahman seperti sebuah gelang yang diletakkan di tengah padang pasir Sahara, dia melihat para malaikat mengelilingi Arsy,sambil mengumandangkan tasbih, tahmid, taqdis dan takbir.
                Perintah turun dari atasnya untuk mengatur para hamba dan bala tentara yang jumlahnya hanya dapat diketahui oleh para pemilik dan Rabbnya, maka turunlah perintah untuk menghidupkan suatu kaum dan mematikan yang lain, memberikan kekuasaan dan mencabut kekuasaan yang lain, memindahkan nikmat dari suatu tempat ke tempat lainnya, menunaikan hajat-hajat dengan berbagai ragam, bentuk dan jumlahnya, berupa mencukupi orang yang kekurangan, membuat kaya yang fakir, menyembuhkan orang sakit, menghilangkan kesulitan, mengampuni dosa, mengangkat mudarat, menolong orang yang teraniaya, memberi petunjuk kepada orang yang bingung,  mengajari yang jahil, mengembalikan hamba sahaya yang kabur, member keamanan kepada yang takut, member perlindungan kepada yang memintanya, member kekuatan bagi yang lemah,menolong yang dalam kesusahan, membantu yang lemah, membalas yang berbuat zhalim, menahan pelanggaran.
                Inilah ketetapan yang berporos antara keadilan, karunia, hikmah dan rahmat yang menembus ke seluruh penjuru alam. Dia tidak disibukkan oleh satu pendengaran terhadap sesuatu dari yang lain, tidak dipusingkan oleh banyaknya permintaan dan hajat dengan berbagai macam bahasa, keanekaragamannya, dan dalam kesamaan waktunya, Dia tidak marah karena permintaan yang terus menerus, kekayaanNya tidak berkurang walaupun sekecil seekor semut, tidak ada Tuhan yang haq selainNya, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
                Pada saat itu, hati seorang hamba berdiri di hadapan Allah yang ar Rahman, dalam keadaan merendah karena kebesaranNya, khusyu’ karena kagunganNya, dan tunduk karena keperkasaanNya, maka dia bersujud di hadapan Maharaja yang Mahabenar yang menjelaskan segala sesuatu sesuai dengan hakikatnya yang benar, dengan sujud yang dia tidak akan mengangkat kepalanya darinya sampai Hari Kiamat. Inilah perjalanan hati, sementara dia tetap di tanah airnya, di kotanya, dan rumahnya. Ini termasuk tanda kebesaran Allah yang paling besar dan keajaiban hasil ciptaanNya. Sebuah perjalanan yang benar-benar member berkah melimpah, memberi buah dan keuntungan besar, memberi manfaat berharga dan memberi akhir yang baik, perjalanan yang merupakan kehidupan hati, kunci kebahagiaan, harta rampasan bagi akal dan pemikiran, bukan perjalanan yang merupakan salah satu bentuk azab.” Selesai ucapan Ibnul Qayyim Rahimahullah.

 Halaman 1287-1290, Kitab Fathul Majid
Perincian Syarah Hadits
                Penulis Rahimahullah menyebutkannya secara ringkas, yang tertera di Sunnan Abu Dawud  adalah dari al-Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata,
“Aku pernah berada di Bath-ha’ bersama beberapa orang , di antara mereka adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , tiba-tiba muncullah awan melewati mereka, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  melihatnya, kemudian bertanya, ‘Apa namanya menurut kalian?’ Kami menjawab, Sahab (awan).’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Ia disebut juga Muzn.’ Mereka berkata, ‘Ya, ia disebut juga Muzn.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Ia disebut juga ‘Anan.’ Mereka berkata, ‘Ya, ia disebut juga ‘Anan.’ - Abu Dawud berkata, ‘Aku tidak menghapal ‘Anan dengan baik’- Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Tahukah kalian berapa jarak antara langit dan bumi?’ Mereka menjawab, ‘Tidak tahu.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, sesungguhnya jarak di antara langit dan bumi adalah tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua atau tujuh puluh tiga tahun perjalanan, kemudian jarak antara langit dengan langit di atasnya juga demikian, -Sehingga Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  menyebutkan tujuh langit kemudian di atas langit yang ketujuh adalah lautan, jarak antara dasar dengan permukaannya sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain, kemudian di atas itu adalah delapan malaikat berwujud kambing gunung, jarak antara kuku kakinya dengan lututnya sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain, kemudian di atas punggung mereka adalah Arasy, jarak bagian bawah dengan bagian bagian atasnya adalah sama dengan jarak antara satu langit dengan langit yang lain, kemudian Allah Ta’ala di atas itu’.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, at-Tirmidzi berkata, Hasan gharib.” 
                Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Hasan.¹

[¹ Dalam sanadnya terdapat al-Walid bin Abu Tsaur, haditsnya tidak dijadikan hujah.Abu Dawud menyebutkannya dari jalan selain al-Walid. Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam Tahdzib as-Sunan, ‘Adapun menolak hadits ini karena al-Walid bin Abu Tsaur maka ia tidak diterima, karena al-Walid tidak meriwayatkannya secara sendiri, namun ia dimutaba’ah oleh Ibrahim bin Tahman, keduanya dari Simak, dan dari jalannya Abu Dawud meriwayatkan. Ia juga diriwayatkan dari Amru bin Abu Qais dari Simak, dari haditsnya at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bi Humaid, Abdurrahman bin Sa’ad  mengabarkan kepada kami, dari Amru bin Abu Qais.” Selesai.
Ia juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Hadits al-Walid bin Abu Tsaur dari Simak. Apa kesalahan dari al-Walid dalam hal ini? Kesalahannya adalah karena dia meriwayatkan hadits yang tidak sejalan dengan keyakinan Jahmiyah yaitu alasannya yang berpengaruh bagi mereka.”]

At-Tirmidzi meriwayatkan serupa dari hadits Abu Hurairah yang di dalamnya disebutkan, (Jarak antara satu langit dengan langit yang lain adalah lima ratus tahun perjalanan). Tidak ada pertentangan di antara keduanya, sebab perkiraan hal itu dengan lima ratus tahun adalah menurut perjalanan sebuah kafilah misalnya, sedangkan tujuh puluh tahun lebih menurut perjalanan dengan cepat. Bisa saja dikatakan, perjalanan dari sini ke Mesai selama dua puluh hari dengan perjalanan pada umumnya, dan hanya tiga hari dengan perjalanan kilat. Syarik meriwayatkan sebagian hadits ini dari Simak dan dia memauqufkannya.” Ini adalah akhir perkataan adz-Dzahabi. ²
[² Di dalam Qurrah al-Uyun disebutkan, “Saya katakana, Hadits ini mempunyai beberapa syahid di ash-Shahihain dan lainnya yang ditunjukkan secara jelas oleh al-Qur’an, sehingga pendapat yang menyatakan dhaif tidak dianggap. Penulis Rahimahullah memulai kitabnya yang agung in dengan menjelaskan tauhid uluhiyah, karena mayoritas umat yang hidup belakangan tidak mengetahui tauhid, bahkan mereka melakukan  syirik dan persekutuan yang menafikan tauhid. Maka Syaikh Rahimahullah menjelaskan tauhid yang didakwahkan oleh para rasul dan melarang umat dari kesyirikan mereka yang menafikan tauhid ini, serta berjihad melawan orang-orang yang menyelisihinya dari kalangan orang-orang yang menyekutukan Allah dalam beribadah kepadNya. Penulis Rahimahullah menetapkan tauhid ini sebagaimana yang pembaca lihat pad bab demi bab. Kemudian penulis menutup kitabnya dengan tauhid al Asma’ dan ash-Shifat, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai perhatian terhadap tauhid ini, sementara di sisi lain dibahas secara berlebih-lebihan oleh orang-orang yang merasa berilmu, di mana mereka mengambil dari orang-orang yang berbicara mendalam dalam ilmu-ilmu ini, mereka berbaik sangka terhadap ahli kalam, mereka mengira bahwa ahli kalam berpijak kepada kebenaran, maka mereka menerima apa yang mereka dapatkan dari ahli kalam, akibatnya mereka menetapkan madzhab Jahmiyah dan melakukan ilhad dalam Asma’ wa ash-Shifat dan menyimpang dari petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah serta keyakinan yang dipegang oleh salaf umat ini, para imam hadits dan tafsir dari kalangan para pendahulu. Ahlus Sunnah wal Jama’ah terus berpegang teguh kepadanya walaupun jumlah mereka sedikit, maka Allah memberi petunjuk kepada imam ini untuk mengetahui tauhid dengan macam-macamnya kemudian dia menetapkannya dengan didukung dalil-dalilnya. Segala puji bagi Allah atas taufikNya dan hidayahNya kepada kebenaran pada saat Islam sangat terasing, yang akibatnya tidak sedikit manusia penghuni desa-desa dan kota-kota yang tersesat dalam hal ini. Hanya kepada Allah-lah kita memohon taufik.
Di  dalam kitab ini telah terhimpun tiga macam tauhid yang telah disayaratkan oleh Allamah Ibnul Qoyyim Rahimahullah dalam ucapannya,

Ilmu ada tiga bagian, tidak ada bagian keempat.
Dan kebenaran itu sangatlah jelas.
1.Ilmu tentang sifat-sifat Allah dan perbuatanNya.
Demikian pula nama-nama bagi ar-Rahman.
2.Perintah dan larangan yang merupakan agamaNya
3.Dan balasanNya pada kehidupan yang kedua.

Dan shalawat dan salam Allah curahkan kepada penghulu para rasul dan Imam orang-orang yang bertakwa, Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya seluruhnya.]

Saya (Al Allamah Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh), Di dalam hadits ini terdapat penjelasan yang tegas bahwa Allah di atas ArsyNya, sebagaimana yang telah di sebutkan di dalam ayat-ayat muhkamat, hadits-hadits yang shahih, dan perkataan salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

                Hadits ini mempunyai beberapa syahid di dalam ash-Shahihain dan selainya, sehingga tidak ada anggapan bagi pendapat yang menyatakan dhaif, karena ia mempunyai banyak syahid yang karenanya mustahil untuk ditolak atau dipalingkan dari zahirnya.

                Hadits ini sama dengan dengan hadits lain yang serupa yakni menunjukkan keagungan Allah, kesempurnaanNya, dan kebesaran makhlukNya, dan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat sempurna yang dengannya dia menyifati diriNya di dalam kitabNya dan RasulNya menyifatiNya, bahwa kodrat Allah sempurna, dan bahwa Dia-lah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya, bukan selainNya.

                Hanya kepada Allah-lah kita memohon taufik. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga selalu tercurah Allah curahkan kepada sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya seluruhnya.

                Demikianlah, selesai sudah kitab Fath al-Majid ini dengan pertolongan Allah Yang Maha Terpuji.  




2.  Halaman 1262- 1266 dari Kitab Fathul Majid Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid Syekh Muhammad bin Abdul Wahab:  Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata “Tidaklah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh serta makhluk yang berada di dalamnya berada di Tangan Dzat Yang Maha Pengasih melainkan bagaikan sebiji sawi di tangan salah seorang di antara kalian. “ (Majmu’ al Fattawa, 16/439).
Hamad bin Atiq berkata, “Pensyarah berkata, ’Sanad ini dalam studi kritikku adalah shahih, dan yang dia maksud ialah Pensyarah Kitab at-Tauhid, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab.”
Saya (Syaikh Furaih Al-Bahlal) berkata,minimal kondisi sanadnya adalah hasan, (Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab at-Tauhid, hal 135-136).

Ibnu Jarir berkata, Yunus telah menceritakan kepadaku, Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Ibnu Zaid berkata, bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “Tidaklah langit yang tujuh (bila diletakkan) di al-Kursi, melainkan seperti tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai.”1
1(Hadits ini dipermasalahkan oleh sebagian kalangan, bahkan ada yang mendhaifkannya. Berikut ini adalah takhrijnya secara lengkap. Ed. T).
Penulis Kitab at-Tauhid berkata, “Dan Ibnu Jarir berkata, ‘Yunus telah menceritakan kepadaku, Ibnu Wahhab telah memberitakan kepada kami, dia berkata, Ibnu Zaid berkata, bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata, Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “ Tidaklah langit yang tujuh di dalam al-Kursi melainkan bagaikan tujuh keping uang dirham yang diletakkan diperisai.”
Lalu penulis berkata, “Dan Abu Dzarr r.a. berkata, Aku telah mendengar Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “Tidaklah al-Kursi itu didalam Arasy melainkan bagaikan selingkar besi yang diletakkan pada sebuah tanah lapang yang luas dari bumi.”
Ibnu Jarir meriwayatkannya dengan sanad ini dalam at-Tafsir, 13/12, no. 5795, kemudian dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam at-Tafsir, 1/293, dan juga dalam al-Bidayah, 1/13, dan tidak mengomentarinya (sakata ‘anhu).
Abu asy-Syaikh al-Ashbahani juga meriwayatkannya dalam al-‘Azhamah, 2/587, no. 220, dari jalan Ashbagh bin al-Faraj, dia berkata, Aku telah mendengar Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, dari bapaknya….
Abdurrahman ini adalah seorang yang dhaif, dan Zaid adalah seorang tabi’in, sehingga khabar ini adalah mursal  (Mursal  adalah Hadits yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya yaitu pada shahabat, sebelum tabi’in. Gambarannya adalah, apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda,”…”, atau “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  melakukan ini dan itu …”).
 Sedangkan hadits Abu Dzarr, maka dimaushulkan oleh Ibnu Mardawaih. Ibnu Katsir berkata, “Abu Bakara bin Mardawaih berkata, Sulaiman bin Ahmad telah mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Wahab al-Muqri’ telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abi al-Yasari al-Asqalani telah mengabarkan kepada kami, dari al-Qasim bin Muhammad ats-Tsaqofi, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzarr al-Ghifari , bahwasannya dia pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  tentang al-Kursi, maka Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “ Demi dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh di sisi al-Kursi, melainkan bagaikan selingkar gelang yang di atas tanah lapang yang luas, dan bahwasannya keutamaan Arasy disbanding al-Kursi itu adalah bagaikan tanah lapang yang luas dibanding selingkar gelang tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/293, dan al-Bidayah wa an-Nihayah, 1/13).
Sulaiman bin Ahmad ialah at-Thabrani, pemilik tiga kitab Mu’jam Hadits yang tiga. Dan Abdullah bin Wahab al-Muqri’ ialah Abu al-Abbas al-Judzami al-Ghazzi; disebutkan oleh al-Mizzi di dalam deretan murid-murid Muhammad bin Abu al-Yasari, dan saya tidak mendapatkan biografinya. Sedangkan gurunya Muhammad bin Abu al-Yasari, yang benar adalah as-Sari al-Asqalani. Al-Hafizh berkata dalam at-Taqrib, “ Dia seorang yang jujur tetapi memiliki kesalahan berpraduga.”
Adapun biografi Muhammad bin Abdullah at-Tamimi, maka saya tidak mendapatkannya, sedangkan al-Qasim bin Muhammad ats-Tsaqafi, maka ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat, 5/305. Kemudian Abu Idris al-Khaulani;al-Hafish berkata tentangnya dalam at-Taqrib, “ Dia dilahirkan di masa hidup Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , dan sempat mendengarkan riwayat dari para sahabat; namanya ialah: A’idz bin Abdullah.
Jalan Periwayatan lainnya:
Al-Baihaqi berkata,”Al-Hafizh Muhammad bin Abdullah mengabarkan kepada kami, Abu al-Hasan Ali bin al-Fadhl  as-Samiri di Baghdad memberitakan kepada kami, al-Hasan bin ‘Arafah al-‘Abdi telah menceritakan kepada kami, Yahya bin Sa’id as-Sa’di al-Bashri telah menceritakan kepada kami, Abdul Malik bin Juraij telah menceritakan kepada kami, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair al-Laitsi, dari Abu Dzarr r.a. ...”. Al-Hadits (Al-Asma’wa ash-Shifat, 2/148).
Al-Baihaqi berkata lagi, “Hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Yahya bin Sa’id as-Sa’di. Yahya ini dikatakan oleh Ibnu Hibban. ‘Dia adalah seorang syaikh yang meriwayatkan hadits-hadits yang terbolak-balik dari Ibnu Juraij, dan meriwayatkan ahdist-hadits yang “serupa tapi tak sama” dari orang-orang tsiqah selain Ibnu Juraij; tidaklah halal berhujjah dengannya apabila dia meriwayatkan suatu hadits sendirian.” (Al-Majruhun, Ibnu Hibban,3/129).
Al-Baihaqi berakata, “Hadits ini memiliki syahid dengan sanad yang lebih shahih. Al-Baihaqi menyebutkannya dengan sanadnya dari jalan Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya al-Ghassani, bapakku telah menceritakan kepadaku, dari kakekku, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzarr, dia berkata, “ Aku bertanya, Wahai Rosulullah, apa ayat yang paling agung yang turun kepada anda?’ Beliau menjawab,’Ayat Kursi.’kemudian beliau bersabda,’Wahai Abu Dzarr, tidaklah langit yang tujuh dibandingkan al-Kursi melainkan bagaikan selingkar gelang diletakkan d iatas tanah lapang yang luas, dan keutamaan Arasy dibandingkan al-Kursi adalah bagaikan tanah lapang yang luas dibanding selingkar gelang tersebut.” (Al-Asma’ wa ash-Shifat, 2/148).
Dan dari jalan Ibrahim bin Hisyam ini, Abu asy-Syaikh meriwayatkannya dengan lafazh mirip. (Al-Azhamah , 2/649, no.259)
Dan dengan jalur riwayat itu, Ibnu Hibban juga meriwayatkannya dalam ash-Shahih,2/76, no.361; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 1/166 dalam sebuah hadits yang panjang, dan di dalamnya disebutkan,  Saya bertanya, ‘Wahai Rosulullah, apa sesuatu yang Allah turunkan kepada Anda yang paling agung?’ Beliau menjawab,’Ayat al-Kursi’, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar tidaklah langit yang tujuh…’.”Al-Hadits.
Ibrahim bin Hisyam diaktakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Mughni fi adh-Dhua’afa’, no.201, “ Dinyatakan tsiqah oleh ath-Thabrani, tetapi dinyatakan memili kelemahan oleh Abu Hatim dan lainnya, dan bahwasannya dia adalah seorang yang tidak tsiqah.”
Saya berkata, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqat, 8/79.
Dan hadits ini memiliki jalan periwayatan lain, dimana Abu Nu’aim berkata setelah meriwayatkannya, “Al-Mukhtar bin Ghassan meriwayatkannya, dari Ismail bin Salamah, dari Abu Idris.
Ali bin Zaid meriwayatkannya dari al-Qasim, dari Abu Umamah, dari Abu Dzarr.
Ubaid bin al-Hashas juga meriwayatkannya dari Abu Dzarr.
Mu’awiyah bin Shalih juga meriwayatkannya, dari Abu Abdul Malik Muhammad bin Ayyub, dari Ibnu A’idz, dari Abu Dzarr, secara panjang lebar.
Kemudian Ibnu Juraij juga meriwayatkannay, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair, dari Abu Dzarr juga secara panjang lebar.
Al-Qurthubi berkata,”Al-Ajjuri dari Abu Hatim al-Busti meriwayatkannya dalam Shahih Musnadnya, dan al-Baihaqi. Dia menyebutkan bahwa hadits ini adalah shahih.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi, 2/1086).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “ Didalam hadits Abu Dzar yang panjang dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban,  Bahwasannya Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, ‘Wahai Abu Dzarr, tidaklah langit yang tujuh dibanding al-Kursi, melainkan bagaikan selingkar gelang dilemparkan pada tanah lapang yang luas, dan keutamaan Arasy dibanding al-Kursi itu sendiri adalah bagaikan tanah lapang yang luas tersebut dibanding selingkar gelang itu tadi.”
Dan ini memiliki syahid dari Mujahid, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dalam at-Tafsir dengan sanad yang shahih darinya.” (Fath al-Bari, 13/411).
Saya berkata, Atsar Mujahid ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi juga dengan mengatakan, “Abu Nashr bin Qatadah telah mengabarkan kepada kami, Abu Manshur bin an-Nadhrawi  telah mngabarkan kepada kami, Ahmad bin Najdah telaj menceritakan kepada kami, Sa’id bin Manshur telah menceritakannya kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menceritakan kepada kami, dari al-A’masy, dari Mujahid, dia berkata, Tidakalah langit dan bumi di al-Kursi melainkan bagaikan selingkar gelang yang diletakkan pada tanah lapang yang luas.” (Al-Asma’ wa ash-Shifat, 2/149).
 Para perawinya adalah para perawi ash-Shahih.
Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkannya dalam as-Sunnah, hal.55, no.268; dan Abu asy-Syaikh al-Ashbahani dalam Al-Azhamah, 2/585, no.218, 248, 249, dari jalan: Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid, dengan hadits tersebut (Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab at-Tauhid, hal. 137-140).

Ibnu Jarir juga berkata, Abu Dzarr r.a. berkata, Aku telah mendengar Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda, “Tidaklah al-Kursi itu (bila diletakkan) di atas Arasy, melainkan seperti gelang  besi yang dicampakkan d itengah padang pasir.”1
Dari Ibnu Mas’ud berkata, Jarak antara langit paling bawah dengan langit di atasnya adalah lima ratus tahun (perjalanan). Jarak antara setiap langit adalah lima ratus tahun (perjalanan). Jarak antara langit ke tujuh dengan al-Kursi adalah lima ratus tahun (perjalanan). Jarak antara al-Kursi dengan samudera adalah lima ratus tahun (perjalanan). Sedangkan Arasy berada di atas samudera itu. Dan Allah berada di atas Arasy tersebut. Dan tidak ada sedikitpun amal perbuatan kalian yang samar bagi Allah.”2
Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi, dari Hammad bin Salamah, dari Ashim, dari Zirr, dari Abdullah. Dan diriwayatkan oleh al-Mas’udi dengan lafazh serupa dari Ashim, dari abu Wa’il, dari Abdullah.

1 Lihat takhrij sebelumnya.
2Diriwayatkan pula oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no.8987 (tahqiq Hamdi Abdul Majid as-Salafi), dan berkata al-Haitsami dalam al-Majma’ no. 284, “ Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan para rawinya adalah rawi-rawi as-Shahih.

Tebal Setiap Langit Adalah Jarak Perjalanan Lima Ratus Tahun (Kandungan Bab 66)
Kandungan Bab 66, dikutip dari Kitab Fathul Majid Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, halaman 1270-1272, (dilengkapi dengan kitab  takhrij hadits-hadits yang dianggap lemah sejumlah 31 hadits yang berjudul  Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Furaih bin Shalih Al-Bahlal),  Penerbit Pustaka Shahifa, Jakarta tahun 2009.
Pertama: Tafsir Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, “Padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada Hari Kiamat.”
Kedua: Bahwa ilmu-ilmu ini yang semisal dengannya masih dikenal di kalangan orang-orang Yahudi pada zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , mereka tidak mengingkari dan tidak pula menakwilkannya.
Ketiga: Ketika ulama Yahudi tersebut mengatakan ilmu ini kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau membenarkannya, dan turunlah Al-Qur’an menegaskan hal itu.
Keempat: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tertawa ketika ulama Yahudi ini menyampaikan ilmu agung ini kepada beliau.
Kelima: Hadits ini menyebutkan dengan jelas bahwa Allah mempunyai dua tangan dan bahwa langit-langit di Tangan kananNya dan bumi-bumi di TanganNya yang lain.
Keenam: Hadits ini menyatakan dengan jelas bahwa tangan yang lain ini adalah tangan kiri.
Ketujuh: Keadaan orang-orang yang bertindak sombong dan lalim pada Hari Kiamat.
Kedelapan: Ucapan Ibnu Abbas bahwa langit yang tujuh dan bumi yang tujuh di tangan ar-Rahman adalah layaknya biji sawi (khordalah-peny) di tangan seseorang.
Kesembilan: Besarnya al-Kursi dibandingkan dengan langit.
Kesepuluh: Besarnya Arasy dibandingkan dengan al-Kursi.
Kesebelas: Bahwa Arasy bukan al-Kursi dan bukan samudera.
Keduabelas: Jarak antara satu langit dengan langit yang lain.
Ketigabelas: Jarak antara langit ketujuh dengan al-Kursi.
Keempat belas: Jarak antara al-Kursi dengan samudera.
Kelima belas: Bahwa Arasy berada di atas samudera.
Keenam belas: Bahwa Allah berada di atas Arasy.
Ketujuh belas: Jarak antara langit dengan bumi.
Kedelapan belas: Tebal setiap langit adalah jarak perjalanan lima ratus tahun.
Kesembilan belas: Bahwa samudera yang ada di atas langit, antara dasar dengan permukaannya adalah jarak perjalanan lima ratus tahun. Wallahua’lam.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya seluruhnya.





0 komentar:

Posting Komentar