Bacaan ketika
setan membisiki kekufuran, dikutip dari buku berjudul : DZIKIR DOA &
PERBUATAN PENGUSIR SETAN BERDASARKAN AL-QUR’AN & AS-SUNNA, Disertai
Risalah, “Penjelasan yang Haq tentang Masuknya jin ke Dalam Diri manusia &
Bantahan terhadap Orang yang mengingkarinya, karya Al -Imam Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz.” , karya Syaik Ali bin Muhammad bin Mahdi al-Qarni,
Dimurajaah Oleh: Syaikh Abdullah bin Jarullah al-Jarullah, Penerbit Darul Haq,
Jakarta, Cetakan I, Juli 2010 M, tebal 158 halaman, halaman 31-33.
K. Bacaan ketika setan membisiki kekufuran
[1] Al-Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setan akan
datang kepada salah seorang di antara kalian , lalu ia berkata, ‘Siapakah yang
menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai ia berkata, ‘Siapa yang
menciptakan Rabbmu (Tuhanmu)?’ Apabila bisikan-bisikan seperti itu
menghampirinya, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dan
hendaklah ia menyudahinya (Faidzaa balaghohu falyasta’idz billaahi
walyantahi)’.”
Di sebagian jalan
periwayatannya disebutkan,
“Barangsiapa yang
mendapatkan sesuatu dari hal itu, maka hendaklah ia berkata, ‘Aku beriman
kepada Allah (Amantu billahi)’.”
Dan di sebagian jalan periwayatannya yang lain
disebutkan,
“Maka hendaklah ia
mengucapkan, ‘Aku beriman kepada Allah dan para rasulNya (Amantu billahi
wa rusulihi)’.” 1
1
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab Bad al-Khalq, Bab Sifat Iblis wa
Junudihi, no. 3276; Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan al-Waswasah fi
al-Iman , no. 4721; an-Nasa’I dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, no.
662; dan Ibnu Sunni, no. 625.
Dan ketahuilah,
bahwasannya setan tidak memililki kekuasaan kecuali atas orang-orang kafir,
adapun orang-orang yang beriman, maka setan tidak memiliki kekuasaan atas diri
mereka. Setan tidak mampu menyesatkan mereka kecuali dengan cara menganggu.
[2]. Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Datang beberapa
orang dari sahabat-sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu mereka
bertanya kepada beliau, ‘Sesungguhnya kami mendapatkan dalam diri kami sesuatu
(pemikiran yang sangat buruk) yang dianggap perkara besar bagi seseorang di antara
kami untuk mengatakannya.’ Maka Nabi menegaskan, ‘Apakah kalian telah
mendapatinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Nabi bersabda, ‘Itulah keimanan yang
nyata (Dzaalika shoriihul iimaan)’.”
Dan di dalam riwayat
yang lain, “Itulah keimanan yang murni (Tilka mahdhul iimaan)’.”1
1 Diriwayatkan
oleh Muslim, Kitab al-Iman, bab Bayan al-Waswasah fi al-Iman wa Ma Yaquuluhu
Man Wajadaha, 2/512, an-Nawawi.
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “(Sabda Nabi), ‘Itulah keimanan yang nyata (Dzaalika shoriihul
iimaan)’ dan’ Itulah keimanan yang murni (Tilka mahdhul iimaan)’,
maksudnya adalah bahwa ketika kalian memandang sesuatu (pemikiran yang buruk)
untuk diucapkan adalah merupakan perkara besar, maka itulah yang disebut
keimanan yang nyata, karena memandang hal tersebut sebagai perkara besar,
sangat takut darinya dan dari mengucapkannya, apalagi meyakininya, hal itu
tidak akan terjadi kecuali pada orang-orang yang benar-benar telah sempurna
keimanannya dan telah hilang keragu-raguan dan kebimbangan darinya.”2
2 Syarh
shahih Muslim, karya an-Nawawi, 2/512.
Dikutip dari buku berjudul: Syarah
Do’a & Dzikir Hishnul Muslim, Penulis: Dr. Sa’id bin Wahf Al-Qahthani, Cet. I, Darul
Falah, Jakarta, 2007, hal. 354-357
40. DO’A ORANG YANG
TERTIMPA KERAGUAN DALAM IMAN
134. ”Berlindung
(isti’adzah) kepada Allah.” (Isti’adzah adalah mengucapkan a’udzu billahi
minasy syaithonirrajiim-red.)
“Berhenti dari keraguannya.” (Muttafaq ‘alaih) 268
268 Dua
buah alinea di atas berada dalam satu buah hadits yang ditakhrij Al-Bukhari,
dalam Fathul Bari,
(6/336), no. 3276;
dan Muslim (1/20), no. 134 dan 214.
Perawi hadits ini
adalah Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
135. “Dia berkata,
‘Aamantu Billaahi wa rusulihi – Aku beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya.”
(Diriwayatkan muslim) 269
269
Muslim, (1/119-120), no. 134 dan 212.
Perawi hadits ini
adalah Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
Seutuhnya hadits ini adalah
sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Syetan datang
kepada salah seorang di antara kalian , lalu ia berkata, ‘Siapakah yang
menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai ia berkata, ‘Siapa yang
menciptakan Rabbmu (Tuhanmu)?’ Apabila bisikan-bisikan seperti itu
menghampirinya, maka hendaklah ia mengucapkan isti’adzah (memohon perlindungan
kepada Allah) dan hendaklah ia menyudahinya (berhenti dari keraguannya) (Faidzaa
balaghohu falyasta’idz billaahi walyantahi)’.”
Dalam hadits lain beliau Shalallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Teruslah manusia
bertanya-tanya hingga dikatakan: Allah telah menciptakan makhluk ini lalu
siapakah yang menciptakan Allah? Maka
siapa saja yang menemukan hal yang demikian, sekalipun sedikithendaknya
mengatakan, ‘Aku beriman kepada Allah’ dalam suatu riwayat, ‘dan para
Rasul-Nya’.”
Artinya: Berpaling dari
pemikiran yang bathil itu dan segera berlindung kepada Allah Ta’ala untuk
mengusirnya. Dan hendaknya seseorang segera memutuskannya dan menyibukkan diri
dengan hal selain itu.
Al –Marizi rahimahullah
berkata, “Apa-apa yang dikatakan atas makna ini adalah bahwa sesuatu yang
timbul dalam hati/pikiran ada dua macam: (1) sesuatu yang timbul dalam
hati/pikiran yang tidak tetap dan tidak pula dimasuki syubhat (keraguan)
yang datang dengan tiba-tiba, maka hal itu dilawan dengan berpaling darinya,
atas hal demikian ini hadits di atas digunakan, dan yang serupa dengan itu
dilontarkan istilah bisikan buruk. Sehingga seolah-olah perkara yang terlintas
itu tanpa dasar dan tanpa peninjauan yang harus dikembalikan kepada dalil.
Karena tiada dasar yang menjadi acuan peninjauannya. (2) sesuatu yang timbul
dalam hati/pikiran yang tetap yang ditetapkan adanya syubhat, maka hal
itu tidak dilawan melainkan dengan analisa dalil dan peninjauan untuk
membatalkannya. Wallahu A’lam.
136. “Beliau
membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dialah Yang Awal dan Dialah Yang Akhir, Dialah
Yang Nyata dan Dialah Yang Tersembunyi; dan Dia mengetahui terhadap segala
sesuatu.” (QS. Al-Hadid:3) (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)270
270 Abu
Dawud, (4/329), no. 5110; dan dihasankan Al-Albani dalam kitab
Shahih Abu Dawud, (3/962).
Ini adalah atsar yang datang
dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhma.
Di bagian awalnya disebutkan,
“Abu Zumail,
yaitu Sammak bin Al-Walid – salah seorang dari kalangan tabi’in – berkata,
‘Kukatakan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhma, ‘Apakah gerangan sesuatu yang
aku temukan dalam diriku – dia maksudkan suatu keraguan?’ Maka dia berkata,
‘Jika engkau temukan hal seperti itu dalam dirimu, maka katakanlah …’.”
Ungkapan maa syaiun ajiduhu
‘apakah gerangan sesuatu yang kutemukan’, dengan kata lain, sesuatu yang
kutemukan. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menafsirkan empat buah nama
dalam ayat dengan sabdanya Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “Ya Allah
Engkau Yang Mula, maka tiada sesuatu
apapun sebelum-Mu. Engkau Yang Akhir, maka tiada sesuatu apapun setelah-Mu,
Engkau Yang Lahir , maka tiada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau Yang
Batin, maka tiada sesuatu apapun di bawah-Mu”(Diriwayatkan oleh Muslim
no.2713) (QS. Al-Hadid:3)
Nama-nama ini mencakup makna
jangkauan liputan yang mutlak, baik menurut waktu di awal dan akhir, atau
tempat dalam lahir dan batin.
Dan telah berlalu syarahnya.
Lihat hadits no. 108
Dikutip dari buku berjudul: “Ensiklopedia
Dzikir & Doa Al-Imam An-Nawawi (Al-Adzkar An-Nawawi), Takhrij,
Tahqiq, dan Komentar oleh: Syaikh Amir bin Ali Yasin, Cetakan II, PUSTAKA
SHAHIFA, Jakarta, Juli 2008 M, 831 halaman, hal. 299-300, 304-307
BAB APA YANG DIUCAPKAN JIKA SETAN
DATANG ATAU TAKUT KEPADANYA
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
berfirman, “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS Fushilat: 36)1
Hendaknya ia
membaca ta’awwudz, kemudian membaca al-Qur’an yang mudah dibacanya.
1
Yakni, apa pun was-was yang
dimasukkan oleh setan ke dalam hatimu, maka mohonlah perlindungan kepada Allah; karena Dia-lah
yang mendengarmu dan mengetahui apa yang dimasukkan setan dalam hatimu serta
apa yang hilang dengannya.
{390} Kami meriwayatkan dalam
Shahih Muslim2 dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan, “Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bangkit untuk
mengerjakan shalat, (di dalam sholat) kami mendengarnya mengucapkan, ‘Aku
berlindung kepada Allah darimu (A’uudzubillaahi min ka).’ Kemudian
beliau mengucapkan, ‘Aku melaknatmu dengan laknat Allah (Al ‘anuka
bila’natillaah),’ sebanyak tiga kali, seraya ,membentangkan tangannya
seakan-akan mengambil sesuatu. Ketika selesai dari shalat, kami bertanya,
‘Wahai Rasulullah, kami mendengarmu mengucapkan sesuatu dalam shalat yang belum
pernah kami mendengarmu mengucapkan demikian sebelumnya, dan kami melihatmu
membentangkan tanganmu?!’ Beliau menjawab,’Sesungguhnya musuh Allah, Iblis
datang dengan membawa suluh api untuk diletakkan di mukaku, maka aku
mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ sebanyak tiga kali. Kemudian
aku katakan, ‘Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna (Al ‘anuka
bila’natillaahit taammah),’ Maka iapun mundur sebanyak tiga kali. Kemudian
aku hendak menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan karena doa saudaraku,
Sulaiman3, niscaya ia sudah dalam keadaan terikat yang akan
menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah’.”
2
Kitab al-Masajid, Bab Jawaz
la’n asy-Syaithan, 1/385,
no. 542
3
Doa Sulaiman ialah ucapannya,
“Ya Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak
dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang
Mahapemberi,” (QS. Shad: 35) Artinya, beliau Sholallahu ‘alaihi wasallam
mengetahui bahwa beliau tidak akan dapat mengalahkannya. Sebab ini
kekususan untuk Sulaiman ‘Alaihisalam , karena Allah telah mengabulkan
doanya. Konon beliau meninggalkannya, karena etika dan ketawadhu’an.
Pendapat pertamalah yang lebih utama. Wallahu a’lam.
Saya (Al-Imam An-Nawawi)
katakan, yang Hendaklah ia beradzan seperti adzan untuk sholat. Kami
meriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Suhail bin Abi Shalih bahwa ia
mengatakan,”Ayahku mengirimku ke Bani Haritsah, dan aku bersama seorang
sahayaku (atau sahabat kami), lalu seorang penyeru dari kebun kurma menyerunya
dengan namanya. Lalu orang yang bersamaku mendekati dan memeriksa kebun itu,
namun tidak melihat sesuatu pun. Ketika kembali, aku menceritakan hal itu
kepada ayahku, maka ia mengatakan, ’Sekiranya aku tahu bahwa engkau bertemu hal
ini, maka aku tidak akan mengirimmu. Tetapi jika engkau mendengar suara, maka
beradzanlah. Karena aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
menceritakan dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau
bersabda: ‘Sesungguhnya setanketika adzan diserukan, maka ia mundur’.”1
1
Muslim meriwayatkan sendirian, Kitab Ash-Shalah, Bab Fadhl
al-Adzan,1/291, no.389, mengenai kisah ini. Adapun pokok hadits ini, maka
diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, Kitab al-Adzan, Bab Fadhl at-Ta’dzin,2/84,
no. 608.
BAB DOA YANG DIUCAPKAN OLEH ORANG
YANG MENGALAMI WAS-WAS
Allah Ta’ala berfirman, “Dan
jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS Fushilat: 36)4
4
Telah disebutkan maknanya.
Sebaik-baik yang diucapkan ialah
apa yang diajarkan Allah kepada kita dan yang diperintahkan kepada kita untuk
mengucapkannya.
{403} Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim3,
dari Utsman bin Abi al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Aku
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, setan menghalangi antara aku dengan sholatku dan
bacaanku dengan mengacaukannya.’ Maka Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Itulah setan yang disebut Khanzab. Jika engkau merasakannya,
maka berlindunglah kepada Allah darinya, dan tiuplah sebanyak tiga kali ke
sebelah kirimu.’ Aku pun melakukan hal itu, lalu Allah mengusirnya dariku’.”
3
Kitab as-Salam, Bab
at-Ta’awwudz min syaithan al-Waswasah, 4/1728, no. 2203
{404} Kami meriwayatkan dalam Sunan abu Dawud dengan
sanad bagus (jayyid) dari Abu Zumail, ia mengatakan, “Aku bertanya
kepada Ibnu Abbas, ‘Apakah sesuatu yang aku dapati dalam dadaku?’ Ia balik
bertanya kepadaku, ‘Apakah itu?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan
mengatakannya.’ Ia bertanya kepadaku, ‘Apakah suatu keraguan? (A syaiun min
syakkin?)’ Ia tertawa seraya mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang bisa
selamat darinya, sehingga Allah menurunkan ayat,”Maka jika kamu (Muhammad) berada
dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyailah
orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sungguh kebenaran telah datang
kepadamu dari Rabb-mu, karena itu janganlah sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.” (QS Yunus: 94).
(Tafsir
Al-Kalam dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: “Fa ing kuηta
(maka jika kamu), hai Muhammad.Fī syakkim mimmā aηzalnā ilaika (berada dalam
keraguan terhadap apa yang Kami Turunkan kepadamu), yakni terhadap al-Quran
yang Kami Turunkan melalui Jibril a.s..Fas-alil ladzīna yaqra-ūnal kitāba (maka
tanyailah orang-orang yang membaca kitab) Taurat.Ming qablika (sebelum kamu),
yaitu ‘Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Akan tetapi Nabi saw. tidak
menanyakan hal tersebut, sebab beliau sudah tidak meragukannya lagi. Yang
menjadi Sasaran Allah Ta‘ala hanyalah pernyataan (keraguan) kaumnya. Laqad
jā-aka (sungguh telah datang kepadamu), hai Muhammad. Al-haqqu mir rabbika
(kebenaran dari Rabb-mu), yakni al-Quran yang dibawa Jibril a.s. dari Rabb-mu
dan berisi informasi tentang orang-orang terdahulu. Fa lā takūnanna minal
mumtarīn (karena itu, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
ragu), yakni orang-orang yang sangsi. Maka jika kamu berada dalam keraguan
terhadap apa yang Kami Turunkan kepadamu, maka tanyailah orang-orang yang
membaca kitab sebelum kamu. Sungguh kebenaran telah datang kepadamu dari
Rabb-mu, karena itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Fa
ing kuηta (maka jika kamu), hai Muhammad. Fī syakkim mimmā aηzalnā ilaika
(berada dalam keraguan terhadap apa yang Kami Turunkan kepadamu), yakni
terhadap al-Quran yang Kami Turunkan melalui Jibril a.s.. Fas-alil ladzīna
yaqra-ūnal kitāba (maka tanyailah orang-orang yang membaca kitab) Taurat. Ming
qablika (sebelum kamu), yaitu ‘Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Akan
tetapi Nabi saw. tidak menanyakan hal tersebut, sebab beliau sudah tidak
meragukannya lagi. Yang menjadi Sasaran Allah Ta‘ala hanyalah pernyataan
(keraguan) kaumnya. Laqad jā-aka (sungguh telah datang kepadamu), hai Muhammad.
Al-haqqu mir rabbika (kebenaran dari Rabb-mu), yakni al-Quran yang dibawa
Jibril a.s. dari Rabb-mu dan berisi informasi tentang orang-orang terdahulu. Fa
lā takūnanna minal mumtarīn (karena itu, janganlah sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu), yakni orang-orang yang sangsi.”)(QS Yunus: 94). “
Lalu ia(Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu) mengatakan kepadaku, ‘Jika engkau
mendapati sesuatu (keraguan) dalam dirimu, maka ucapkanlah, ‘Dia-lah Yang Awal
dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu (Huwal awwalu Wal ākhiru.Wazh zhāhiru. Wal bāthinu. Wa huwa bi kulli
syai-in ‘alīm )’.” (QS. Al-Hadid: 3).1 (Tafsir Al-Kalam
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Dia-lah yang awal dan yang akhir serta
yang zhahir dan yang bathin. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Huwal
awwalu (Dia-lah yang awal) sebelum segala sesuatu. Wal ākhiru (dan yang akhir)
sesudah segala sesuatu. Wazh zhāhiru (serta yang zhahir), yakni yang menguasai
segala sesuatu. Wal bāthinu (dan yang bathin), yakni yang mengetahui hakikat
segala sesuatu.Wa huwa bi kulli syai-in ‘alīm (dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu). Maksudnya, huwal awwalu (Dia-lah yang awal), yakni yang hidup abadi
dan azali. Dia ada sebelum segala sesuatu hidup dan yang menghidupkan segala
sesuatu; wal ākhiru (dan yang akhir), yakni Dia-lah yang hidup kekal dan
langgeng. Dia ada sesudah segala sesuatu yang hidup Dimatikan-Nya; wazh zhāhiru
(yang zhahir), yakni yang menguasai segala sesuatu; wal bāthinu (dan yang
bathin), yakni yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Menurut pendapat yang
lain, huwal awwalu (Dia-lah yang awal), yakni Dia-lah Yang Maha Terdahulu tanpa
sesuatu pun yang mendahului; wal ākhiru (dan yang akhir), yakni Dia-lah yang
kekal tanpa bantuan sesuatu pun yang membuat-Nya kekal; wazh zhāhiru (yang
zhahir), yakni yang menguasai segala sesuatu tanpa sesuatu pun yang
menguasai-Nya; wal bāthinu (dan yang bathin), yakni yang mengetahui hakikat
segala yang tampak dan tersembunyi, tanpa sesuatu pun yang memberi tahu-Nya.
Menurut pendapat yang lain, huwal awwalu (Dia-lah yang awal) sebelum segala
yang awal, tanpa titik permulaan; wal ākhiru (dan yang akhir) setelah segala
yang akhir, tanpa batas kesudahan. Dan ada pula yang berpendapat, huwal awwalu
(Dia-lah yang awal), yakni yang mengawalkan segala yang awal; wal ākhiru (dan
yang akhir), yakni yang mengakhirkan segala yang akhir. Dia ada sebelum segala
sesuatu Dia Ciptakan, dan senantiasa ada setelah segala sesuatu Dia Binasakan.
Dia-lah yang hidup kekal dan abadi, tanpa mengalami kematian, kebinasaan, dan
kesirnaan. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu yang awal, yang akhir, yang
tampak, dan yang tersembunyi.) (QS. Al-Hadid: 3).1
1 Tahqiq dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali (murid senior
dari Syaikh al-Abani rahimakumullah) dalam kitabnya Shahih Kitaab
al-Adzkar wa Dha’iifuhu, no.267. Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh Abu
Dawud (no. 5110). Saya (Syaikh Salim al-Hilali) katakan: (Sanadnya jayyid
(baik) sebagiamana yang dikatakan penulis (Al-Imam an-Nawawi).
Takhrij, tahqiq dan komentar dari Syaikh
Amir bin Ali Yasin: Syadz: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab
al-Adab, Bab Rad al-Waswasah, 2/750, no 5110; Ibnu Abi Hatim
dalam at-Tafsir, no. 10582; dari an-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi, Ikrimah bin
Ammar menceritakan kepada kami, Abu Zumail menceritakan kepadaku dengan hadits
tersebut.
Ini adalah yang la ba tsa bihi (tidak
mengapa), tetapi akan timbul anggapan bahwa keraguan pernah merasuk dalam hati
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, dan tentu saja ini tidak patut.
Karena itu, al-Asqalani berkata dalam Amali al-Adzkar 4/34 –Futuhat,
“Para perawinya bisa dipercaya, yang dipakai oleh Muslim, tetapi Ikrimah
diperbincangkan, sedangkan Nadhr bin Muhammad perawi hadits ini meriwayatkan
dari Ikrimah yang banyak meriwayatkan sendirian, dan ini adalah matan
yang syadz. Telah tsabit dari Ibnu Abbas, dari riwayat Sa’id bin
Jubair dan dari riwayat Mujahid serta yang lainnya; Nabi Sholallahu ‘alaihi
wasallam tidak pernah ragu dan tidak pernah bertanya.’ Hadits ini
diriwayatkan oleh Abd bin Humaid, ath-Thabrani, dan Ibnu Abi Hatim dengan
sanad-sanad yang shahih. Disebutkan pula dari jalur yang lain secara marfu’.”
Adapun al-Albani merasa cukup dalam Shahih
Abi Dawud memberi penilaian dengan hasan sanadnya. Yakni, ia tidak
meluangkan waktu untuk mengkaji hadits dengan sebenarnya, sehingga ia cukup
menilai sanad yang ada di hadapannya. Dan seperti diketahui bahwa ini tidak
menunjukkan kehasanan hadits. Wallahu a’lam.
Kami meriwayatkan dengan sanad
kami yang shahih dalam Risalah al-Ustadz Abi al-Qasim al-Qusyairi rahimakumullah
dari Ahmad bin Atha’ ar-Rudzabari 2, seorang sayyid yang
mulia, ia mengatakan, “Aku memiliki keraguan dalam perkara bersuci, dan dadaku
terasa sempit pada malam hari, karena banyaknya air yang aku guyurkan sementara
hatiku belum juga tentram, lalu aku berucap, ‘Wahai Rabbku! AmpunanMu,
ampunanMu.’ Maka aku dengar suara berbisik mengatakan, ‘Ampunan terletak dalam
ilmumu.’ Maka lenyaplah hal itu dariku.”
2
Ahmad bin Atha’ ialah orang
arif, zahid, syaikh shufiyah, meriwayatkan sejumlah hadits namun
melakukan kesalahan yang sangat parah di dalam meriwayatkannya. Meninggal di
Shur tahun 269 H. Biografinya disebutkan dalam Hilyah al-Auliya’ 10/383
dan A’lam an-Nubala’ 16/227.
Sebagian ulama mengatakan,
“Dianjurkan mengucapkan laa ilaha illallah bagi siapa yang diuji dengan
was-was dalam wudhu, shalat atau sejenisnya, sebab jika setan mendengar dzikir,
maka ia mundur dan menjauh, sedangkan laa ilaha illallah adalah pokok
dzikir.”
Oleh karena itu para tokoh mulia
dari kalangan terpilih dari umat ini, yang mendidik dan membimbing para
penuntut ilmu, memilih ucapan laa ilaha illallah untuk ahlul khalwah
(kaum yang suka berkhalwat) dan memerintahkan kepada mereka agar
melakukannya secara berkesinambungan. Menurut mereka, obat yang paling manjur
untuk mengusir penyakit was-was ialah memperbanyak berdzikir kepada Allah.1
1
Terus menerus bergadang,
berdzikir dan berkholwat berdasarkan metode Shufiyah adalah sarana yang paling
ampuh untuk mendatangkan was-was, keraguan dan halusinasi dari setan, bukan
untuk mengusirnya. Seandainya Anda mempergunakan akal dan memperhatikan
berbagai pernyataan dan perbuatan mereka, niscaya nampak kepada Anda dengan
jelas tanpa diragukan lagi. Beruntunglah bagi siapa yang menjadikan petunjuk
Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai petunjuknya, menconto
Sunnahnya, dan tidak terpedaya dengan “konon kabarnya”.
As-Sayyid
al-Jalil Ahmad bin Ahmad bin Abi al-Hawari 2 rahimakumullah
mengatakan,”Aku mengaduh kepada Abu Sulaiman ad-Darani tentang was-was, maka ia
mengatakan kepadaku, ‘Jika engkau ingin was-was itu terputus darimu, maka
setiap waktu engkau merasakannya, gembiralah. Sebab jika engkau gembira
dengannya, niscaya itu terputus darimu. Karena tidak sesuatu yang lebih dibenci
setan daripada kegembiraan seorang mukmin. Jika engkau bersedih terhadapnya,
maka ia menambahkan (was-was itu) kepadamu’.”3
2 Syaikh, ahli ibadah dan zuhud, banyak
beribadah, yaitu Ibnu Abdilaah bin Maimun ad-Dimasqi, salah seorang tokoh.
Dilahirkan pada tahun 164 H. Dan meninggal pada tahun 246 H. Biografinya
disebutkan dalam al-Hilyah (10/5) dan A’lam an-Nubala’ 12/85.
3 Sungguh, ini adalah ilustrasi yang mengherankan. Tidakkah
setan bergembira ketika seorang muslim bergembira tatkala terjerumus dan
menuruti syahwatnya, sementara ia bermaksiat kepada Rabbnya?! Tidakkah setan
bersedih ketika seorang mukmin bersedih dan berduka karena lalai di sisi Allah?
Aku katakan, “Ini salah satu yang
mendukung pernyataan sebagian imam bahwa was-was hanyalah diujikan kepada orang
yang sempurna imannya, karena maling tidak akan menuju rumah yang rusak.”4
Wallahu a’lam.
4 Bahkan orang yang ditimpa hal itu adalah orang yang
lemah akalnya, sedikit ilmunya, dan berpaling dari Sunnah Nabi Sholallahu
‘alaihi wasallam. Janganlah membuatmu takut bahwa sebagian sahabat telah
ditimpa hal ini. Sebab ia hanyalah datang kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi
wasallam untuk mencari ilmu dan Sunnah untuk mengusir was-was darinya.
Allah telah menganugerahkan ilmu dan ittiba’ Sunnah sehingga dapat
mengusir keraguan tersebut dari dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar