“Menyelisik ALAM MALAIKAT Bagian
Kedua dari Rukun Iman yang sering Disalahpahami dan Dilupakan Banyak Orang”, (Judul asli: Mu’taqad Firaqil Muslimin wal Yahuud wan Nashaaraa wal Falasifah wal
Watsaniyyin fil Malaaikatil Muqarrabiin, Penulis: Syaikh Dr Muhammad bin
‘Abdul Wahhab al-‘Aqil, Penerbit: Adhwa-us Salaf-Riyadh-Arab Saudi, Cet. I 1422
H/ 2002 M), Penerbit: Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, Cet. I 1431 H/ 2010 M,
halaman 172-176.
O. Laknat
Allah bagi orang yang mencela para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasssallam.
Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji
dan menyanjung para Sahabat Nabi dalam al-Qur’an, serta menyebut sifat mereka
yang belum pernah disebutkan untuk orang lain setelah para Nabi. Hal itu semata-mata
karena keagungan kedudukan mereka di sisi Allah. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
menyatakan bahwa para Sahabat ridha kepada Allah dan Allah ridha terhadap
mereka. Allah pun menjelaskan kedudukan mereka kepada orang-orang yang
diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil (Ahlul Kitab).
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu melihat
mereka ruku’ sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka
tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang Mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)
“Orang-orang
yang terdahulu lagi orang-orang yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin danm Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Masih banyak nash-nash al-Qur’an
yang semakna dengan ayat ini; hadits pun demikian. Semua dalil tersebut sarat
dengan pujian, sanjungan, dan penjelasan tentaang sifat Sahabat yang baik;
serta menerangkan bahwa mencintai mereka termasuk keimanan, sedangkan membenci
mereka berarti kemunafikan. Mengenai dalil diharamkannya mencela dan
mencaci Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam, diantaranya adalah hadits ‘Imran bin Husain Radhiallahu ‘Anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Sebaik-baik
umatku adalah yang hidup semasa denganku (generasi Sahabat), lalu pada masa
setelah masa mereka (Tabi’in), kemudian pada masa setelah masa mereka (Tabi’ut
tabi’in).”
‘Imran berkata; “Aku tidak tahu
pasti apakah Nabi menyebutkan dua atau tiga masa setelah masanya. (Beliau
mengabarkan pula bahwa) akan muncul setelah kalian kaum yang menjadi saksi,
padahal mereka tidak pernah menjadi saksi. Mereka berkhianat dan tidak patut
diberi amanat. Mereka bernadzar, tetapi tidak memenuhi nadzarnya. Tampak pada
diri mereka kegemukan.” 43
43.
Al-Bukhari (III/1335, no. 3449), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”. Diriwayatkan
juga oleh Muslim (IV/1964, no 2535), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
telah menegaskan bahwa fungsi keberadaan Sahabat adalah sebagai amanah bagi
ummat manusia, sebagaiman disebutkan dalam hadits riwayat Abu Burdah dari
ayahnya, ia bercerita: “Kami pernah shalat Maghrib bersama Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Setelah itu kami berinisiatif untuk duduk-duduk
(menunggu) hingga shalat ‘Isya’ bersama beliau.” Ia (Abu Burdah) melanjutkan
kisahnya: “Maka kamipun duduk (menunggu).’ Tidak lama kemudian, Rasulullah
menghampiri kami dan bersabda:’Kalian masih disin? Kami menjawab:’Wahai
Rasulullah, seusai shalat Maghrib bersamamu, kami berinisiatif untuk
menunggu hingga kami mengerjakan shalat
‘Isya’ bersamamu.’Beliau bersabda: ‘Kalian telah berbuat kebaikan dan kalian
benar.’”
Abu Burdah berkata; “Kemudian, beliau barkali-kali mengangkat kepalanya
(melihat) ke atas langit lalu bersabda:
“Bintang-bintang
itu adalah amanah (penjaga) langit. Jika bintang-bintang itu hilang, maka
langit akan ditimpa apa yang telah dijanjikan kepadanya. Aku adalah amanah
(penjaga) bagi para Sahabatku. Apabila aku telah pergi, maka para Sahabatku
akan ditimpa apa yang dijanjikan kepada mereka. Para Sahabatku adalah amanah
(penjaga) bagi ummatku. Kalau Sahabatku telah pergi, niscaya umatku akan
ditimpa apa yang dijanjikan kepada mereka.” 44
44. Muslim
(IV/1961, no. 2531), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam orang yang mencela dan mengurangi (hak) para Sahabatnya, sebagaimana
sabdanya:
“Janganlah
kalian mencela Sahabat-Sahabatku! Janganlah kalian mencela Sahabat-Sahabatku!
Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang kamu
membelanjakan emas sebesar Gunung Uhud, maka sungguh ia tidak akan pernah
mencapai (keimanan mereka) walaupun hanya seberat satu mudd atau separuhnya.”45
45.
Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (III/1343) dari Abi Sa’id al-Khudri, Muslim (no.
2540), Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”.
Dalilnya, adalah hadits Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
bersabda:
“Sesungguhnya
jika Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril lalu berkata: ‘Sesungguhnya Aku mencintai Fulan, maka
cintailah dia.’ Rasulullah melanjutkan: ‘Orang itu pun dicintai Jibril yang
kemudian berseru di langit dengan berkata: ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan,
maka cintailah dia.’ Orang itupun dicintai oleh seluruh penghuni langit hingga
kemudian menjadi makhluk yang dicintai di muka bumi. Demikian pula, apabila
Allah membenci seorang hamba, Dia menyuruh Jibril dan berkata: ‘Sesungguhnya
Aku membenci Fulan, maka bencilah dia.’ Jibril pun membencinya dan menyerukan kepada
seluruh penghuni langit: ‘Sesungguhnya Allah membenci Fulan, maka bencilah
dia.’ Mereka (penghuni langit) lantas membencinya hingga kemudian orang itu
menjadi makhluk yang dibenci di muka bumi.” 46
46. Al
Bukhari (III/1175, no. 3037) dan Muslim (IV/2030, no. 2637). Lafazh hadits
tersebut milik Muslim.
Tidak diragukan lagi bahwasannya siapa
saja yang mencintai para Sahabat Radhiallahu ‘Anhuma akan memperoleh keutamaan
yang terdapat dalam hadits ini. Sebaliknya, siapa saja yang
membenci mereka niscaya akan dibenci oleh para Malaikat dan seluruh penghuni
bumi. Kenyataan telah menjadi saksi atas kebenaran ini. Sungguh, tidak ada daya
dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah.
Dalam beberapa hadits disebutkan
dengan tegas mengenai laknat para Malaikat kepada orang yang mencela Sahabat
Nabi Radhiallahu ‘Anhuma, sebagaimana tertera pada riwayat Ibnu Abbas
Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam
bersabda:
“Barang siapa
mencela Sahabatku niscaya ia akan ditimpa laknat Allah, para Malaikat, dan
manusia seluruhnya.” 47
47.Ath-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir (XII/142, no. 12709) dengan sanad hasan. Lihat
Shahihul Jaami’ (no. 6161) dan as-Silsilah ash-Shaahihah (no.2340).
Maka dari itu renungkanlah hukuman
bagi orang yang mencela para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam supaya
Anda mengetahui kejinya perbuatan
tersebut. Tindakan kotor ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang
yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala butakan mata hatinya.
Renungkanlah perkataan Abu Zar’ah
ar-Razi Rahimahullah mengenai orang yang mencela Sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wassalam agar Anda mengetahui sumber pemikiran ini beserta penyebab
meluasnya (fenomena ini). Ia berkata: “Apabila kalian melihat orang yang
mencela salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, maka
ketahuilah bahwa dia seorang zindiq. Sebab, Rasulullah bagi kami
adalah benar dan al-Qur’an itu benar. Yang membawa al-Qu’an dan as-Sunnah
kepada kami adalah para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.
Sesunnguhnya mereka hanya ingin mencela para saksi (para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam)
dengan tujuan membatalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal, celaan itu lebih
pantas ditujukan kepada mereka sendiri. Oleh sebab itu, mereka dikatakan
sebagai orang-orang zindiq.” 48
48. Al-Kifaayah karya al-Khatib (no. 97).
0 komentar:
Posting Komentar